ANTARA AL-BUKHARI
DAN AL-SYAFI'I
oleh : Umar Noor
https://www.facebook.com/umarmnoor
Meski semua ulama hadits sepakat
menilai lemah [dha’if] setiap sanad yang terputus, namun mereka berselisih
pendapat tentang sanad yang terdapat dua orang perawi yang hidup semasa
(mu’asharah) namun tidak pernah terbukti berjumpa.Imam Muslim berpendapat bahwa
“hidup semasa (al-mu'asharah)” yang disokong oleh peluang perjumpaan dan bebas
dari sifat tadlis sudah cukup untuk menilai sanad itu bersambung.Sementara hal
itu menurut Imam Al-Bukhari tidak cukup.Ia tetap menuntut bukti yang
menunjukkan perjumpaan (liqa) keduanya agar riwayat mereka dinilai bersambung.
Karena pendiriannya ini, para ulama menilai metode penerimaan hadits yang
diterapkan Al-Bukhari lebih ketat dibandingkan Muslim, sehingga menempatkan
kitab Shahih al-Bukhari di tempat yang lebih tinggi daripada Shahih Muslim.
Menariknya, metode ketat yang diterapkan Al-Bukhari dalam penerimaan hadits ini ternyata telah dipraktekkan jauh sebelumnya oleh Imam Muhammad bin Idris Al-Syafii (150-204 H). Fakta ini menunjukkan beberapa perkara penting, salah satunya: kenyataan bahwa Al-Syafii seorang pakar ilmu hadits. Bukan hanya itu,ini juga bahkan menunjukkan bahwa kemampuannya dalam menilai hadits tidak kurang teliti daripada pakar hadits terbaik sepanjang sejarah, yaitu Imam Al-Bukhari. Dan karena kehadiran Al-Syafii mendahului Al-Bukhari, menurut saya tidak salah jika kita berani berkata bahwa metode kritik hadits Al-Syafii telah mengilhami, jika tidak menjadi panutan, Al-Bukhari dan para ahli hadits setelahnya.
Menariknya, metode ketat yang diterapkan Al-Bukhari dalam penerimaan hadits ini ternyata telah dipraktekkan jauh sebelumnya oleh Imam Muhammad bin Idris Al-Syafii (150-204 H). Fakta ini menunjukkan beberapa perkara penting, salah satunya: kenyataan bahwa Al-Syafii seorang pakar ilmu hadits. Bukan hanya itu,ini juga bahkan menunjukkan bahwa kemampuannya dalam menilai hadits tidak kurang teliti daripada pakar hadits terbaik sepanjang sejarah, yaitu Imam Al-Bukhari. Dan karena kehadiran Al-Syafii mendahului Al-Bukhari, menurut saya tidak salah jika kita berani berkata bahwa metode kritik hadits Al-Syafii telah mengilhami, jika tidak menjadi panutan, Al-Bukhari dan para ahli hadits setelahnya.
Di bawah ini adalah ringkasan dari salah satu bahasan di dalam thesis yang saya yang beri judul“Manhaj Al-Imam Al-Syafi’I fi Ta’lil Al-Hadits” untuk meraih gelar sarjana [masters] di jurusan Al-Sunnah wa ‘Ulumil Hadits Univ. Om Durman Sudan pada tahun 2007.
Sebelum membuktikan kesamaan metode yang diterapkan Al-Syafii dan Al-Bukhari, ada baiknya jika kita mengkaji latar belakang ilmu hadits yang dimiliki Al-Syafii.
Al-Syafii dan Hadits
Meski terjadi perselisihan riwayat tentang masa kedatangan Al-Syafii ke Mekah untuk pertama kali, namun semua sepakat bahwa ia datang ke Mekah ketika kota ini dipenuhi ulama-ulama hadits yang ternama. Di antara sekian banyak ulama pada saat itu, Sufyan bin ‘Uyainah menempati posisi yang paling terhormat karena keluasan ilmu dan banyak haditsnya. Oleh karena itu, sejak remaja Al-Syafii telah bersungguh-sungguh menghadiri majlis riwayatnya sehingga terjalin hubungan personal yang sangat kuat antara guru dan murid ini.Selain dari Ibn ‘Uyainah, Al-Syafii menimba ilmu dari ulama-ulama lain di Mekah seperti Muslim Al-Zinji, Sa’id Al-Qaddah dan lain-lain.
Perjalanan ilmiah Al-Syafii menuntut hadits dilanjutkan ke Madinah ketika pada usia 23 tahun (sesuai pendapat Al-Dzahabi) ia datang ke kota ini dan berjumpa dengan Malik bin Anas, Ibrahim bin Muhammad Ibn Abi Yahya, Abd Al-'Aziz bin Muhammad Al-Darawardi, Ibrahim bin Sa'ad, Anas bin 'Iyadh dan lain-lain. Semua orang ini boleh dikatakan merupakan tiang-tiang penyangga hadits dan fiqh di Madinah kala itu.
Dengan begitu, Al-Syafii telah berhasil mengumpulkan perbendaharaan hadits ahli Hijaz yang terkenal bersih dari ‘illat dan sangat kuat untuk dijadikan dalil.Ketinggian mutu hadits ahli Hijaz ini dijelaskan Sufyan Ibn 'Uyainah, “Barangsiapa yang menginginkan sanad dan hadits yang meyakinkan dan hati tenang menerimanya maka carilah hadits ahli Hijaz.” [“Al-Tamhid” 1/79] Al-Khathib Al-Baghdadi juga berkata, “Jalur Sunnah yang paling sahih adalah yang diriwayatkan oleh ahli Haramain: Mekah dan Madinah. Sebab tadlis dalam riwayat mereka sedikit, hadits-hadits dusta dan palsu jarang sekali terjadi.” [Lihat “Tadrib Al-Rawi” hal 63]
Syeikhul Islam Ibn Taymiah mendukung pendapat ini dengan berkata, “Barangsiapa yang memperhatikan bab-bab Shahih Al-Bukhari, ia akan melihat bahwa Imam Al-Bukhari selalu berusaha menyebutkan hadits ahli Hijaz di awal bab jika ia temukan, sebelum ia menyebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ulama-ulama dari berbagai kota yang lain.” [Tafdhil Madzhab Malik wa Ahl Al-Madinah wa Shihat Ushulih”, Ibn Taymiah, hal. 56]
Sebenarnya, memiliki perbendaharaan hadits ahli Hijaz yang sangat luas ini sudah cukup untuk menjadi modal berijtihad. Namun ternyata Al-Syafii melanjutkan perjalanan intelektualnya dengan pergi ke Yaman, Baghdad dan Mesir untuk mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di semua kota ini dan berdiskusi dengan para tokoh ulamanya. Hasilnya: jangkauan riwayatnya semakin luas dan ijtihadnya semakin matang. Kematangan itu misalnya telihat sebagai berikut: selama di Mekah dan Madinah, Al-Syafii hanyut bersama metode ijtihad ahli Hijaz serta memandang negatif hadits-hadits yang diriwayatkan ahli Irak. Ulama-ulama Hijaz pada masanya, seperti Ibn Syihab Al-Zuhri dan Imam Malik, sering berkata, “Jika hadits telah keluar dari Hijaz maka hilang wibawanya.”[“Al-Tamhid” 1/80, “Tadrib Al-Rawi” hal. 63]. Sebagai pemuda Hijaz, Al-Syafii setuju dengan pendapat ini sehingga ia juga berkata, “Demi Allah, jika sanad hadits yang berasal dari Irak sesahih apapun, namun jika aku tidak menemukan hadits yang mendukung maknanya di negeri kami (Hijaz), maka aku tidak mengindahkan hadits tersebut.” [Adab Al-Syafi'i wa Manaqibuh, hal. 153, Manaqib Al-Syafi'i, al-Baihaqi, 1/526, Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar 1/150.]
Setelah berkesempatan berjumpa dengan ulama-ulama Irak seperti Ismail bin ‘Ulayyah dan Waki’ bin Al-Jarrah, juga pemuda-pemuda cerdas seperti Ahmad bin Hanbal dan ‘Ali bin Al-Madini, persepsi Al-Syafii terhadap hadits ahli Irak berubah. Cara berpikirnya lebih obyektif sehingga ia berani berkata kepada Ahmad bin Hanbal dan pemuda-pemuda pakar hadits di Irak, “Kalian lebih menguasai hadits dan rijal (nama-nama perawi) daripada diriku. Maka jika ada sebuah hadits yang sahih, maka beritahulah aku.Aku akan menerimanya walaupun hadits itu berasal dari Kufah, Basrah atau Syam jika ia benar-benar sahih.” [Adab Al-Syafi'i wa Manaqibuh, hal. 70]. Al-Baihaqi berkata, “Al-Syafi'i tidak menyebut Hijaz, sebab ia lebih mengetahui hadits-hadits ahli Hijaz dan tokoh-tokoh perawinya daripada mereka.”
Hingga akhir hayatnya, Al-Syafii berpegang kepada prinsip ini sebagaimana yang diceritakan muridnya di Mesir Bahr bin Nashr, “Al-Syafi'i mendiktekan [imlakkan] kepada kami kata-katanya: barangsiapa yang dikenal jujur dan hafal dari ahli Irak atau negeri kita (Hijaz), kami menerima haditsnya. Dan barangsiapa yang terkenal sering keliru dari ahli Irak atau negeri kita, maka kami menolak haditsnya.Kami tidak fanatik kepada siapapun dan kami tidak mendeskriminasikan siapapun.” [Manaqib Al-Syafi'i, 1/528]
Semua ini juga menunjukkan bahwa sebelum Al-Syafii berpindah ke Mesir dan wafat di kota ini, ia telah mengusai perbendaharaan hadits yang sangat kaya. Ia telah mengusai hadits-hadits yang terdapat di pusat-pusat hadits kala itu, yakni: Mekah, Madinah, Yaman, Baghdad lalu Mesir. Kekayaan hadits ini membuat Al-Syafii menjadi seorang ahli hadits yang mahir dalam menilai hadits juga status perawinya. Berkenaan dengan perawi hadits, kita dapat menemukan ucapan Al-Syafii tentang para perawi terpercaya (tsiqah) seperti: Abd Al-Wahab Al-Tsaqafi, 'Amr bin Al-Haitsam, Dawud bin Syabur, Dawud bin Qais Al-Dabbagh, Yahya bin Sulaim, Zam'ah bin Shalih, Usamah bin Zaid Al-Laitsi dan Muhammad bin Abi Humaid. Perawi-perawi lain yang dinilainya lemah (dhaif) antara lain: Mujalid bin Sa’id, Al-Jild bin Ayyub, Jabir Al-Ju’fi, Laits bin Abi Sulaim dan Ikrimah maula Ibn ‘Abbas.
Al-Syafii bahkan melontarkan kata-kata keras terhadap para perawi tertentu yang dinilainya telah berdusta seperti katanya, “Meriwayatkan (hadits) dari Haram bin Utsman (hukumnya) haram.”Ia juga berkata, “Barang siapa meriwayatkan hadits dari Abu Jabir Al-Bayadhi, semoga Allah memutihkan matanya.” Katanya lagi, “Katsir bin 'Abdillah Al-Muzani, ia seorang rukun kedustaan.”Al-Syafii menilai ketiga orang ini matruk (harus ditinggalkan haditsnya), sehingga tak satupun kita menemukan hadits-hadits mereka di buku-buku Al-Syafii.
Penilaian Al-Syafii kepada perawi hadits tidak dilakukan dengan sembarangan, melainkan sesuai dengan sebuah mekanisme penelitian yang sangat teliti.Ia berkata di Al-Risalah [hal 383], “Dinilai hafalan seorang perawi hadits dengan (cara): jika beberapa orang meriwayatkan (sebuah hadits yang sama) dari seorang guru, jika salah seorang dari mereka sesuai riwayatnya dengan riwayat mereka maka ia dinilai hafal. Dan ia tidak dinilai hafal jika riwayatnya tidak sesuai dengan riwayat mereka."
Artinya, jika kita hendak menilai status ketsiqatan Muhammad bin Ishaq bin Yasar misalnya, kita harus mengumpulkan semua hadits yang ia riwayatkan dari guru-gurunya seperti Al-Zuhri, Fatimah binti Al-Munzir dan lain-lain. Setelah itu, kita harus memeriksa setiap hadits tersebut dengan membandingkannya dengan riwayat perawi-perawi lain dari Al-Zuhri, seperti Malik bin Anas, ‘Uqail bin Khalid, Yunus bin Yazid dan lain-lain. Jika kita dapati riwayatnya berbeda dengan riwayat mereka, walau hanya satu kata, maka hal itu dicatat sebagai kesalahan.Semakin banyak kesalahan itu berulang, semakin lemah statusnya dalam periwayatan.Al-Syafii berkata, "Seorang perawi yang sering keliru dan tidak memiliki buku catatan haditsnya tidak kami terima.Sebagaimana orang yang sering keliru dalam persaksian maka persaksiannya kami tolak." [Al-Risalah, hal. 382]
Sebaliknya, jika ternyata kesalahannya sangat sedikit dibandingkan keseluruhan riwayat-riwayatnya, tidak ada seorangpun yang berhak menilai dirinya lemah. Metode ini bukan hanya milik Al-Syafii, melainkan dijelaskan pula oleh Imam Muslim di mukaddimah kitab Shahih-nya ketika ia berbicara tentang hadits munkar. Metode ini juga kemudian menjadi pegangan Ibn Al-Shalah dan semua ulama yang menulis tentang ilmu hadits setelahnya.Tanpa menerapkan metode ini, diskusi panjang lebar tentang status seorang perawi hanya perdebatan kosong belaka.
Karena berlandaskan metode penilaian yang diakui keabsahannya, tak heran jika tokoh-tokoh hadits kenamaan seperti Imam Muslim, Ibn 'Adi, Ibn Hibban, Al-Dzahabi dan Al-Sakhawi sepakat menjadikan Al-Syafii sebagai rujukan muktamad dalam ilmu al-jarh wa al-ta'dil.
Metode Al-Syafii
Kini saatnya membuktikan ucapannya saya di muka tentang kesamaan metode Al-Syafii dengan Al-Bukhari. Al-Syafi'i berkata di Kitab Al-Risalah [hal. 379], "Ucapan perawi: [aku mendengar fulan berkata: telah memberitahuku fulan] dan ucapannya: [telah memberitahuku si fulan dari fulan]; sama menurut ahli hadits. Ia hanya meriwayatkan dari orang yang dijumpai sesuatu yang didengar. Maka siapa saja yang kami tahu berpendirian seperti ini kami terima (ucapannya): telah memberitahuku si fulan dari fulan jika ia tidak mudallis.”
Al-Hafiz Ibn Hajar berkata, “Al-Syafi'i menyebutkan bahwa ia hanya menerima (ucapan) “dari” ('an) jika perawinya tidak mudallis dan menggunakan kalimat ini untuk sesuatu yang ia dengar. Maka pendapatnya mirip dengan mazhab Al-Bukhari yang berpendapat bahwa jika terbukti pertemuan walau satu kali maka riwayatnya sama seperti ia mendengar (hadits itu dari gurunya).”[Al-Nukat” hal. 231]. Penafsiran Ibn Hajar ini sama dengan penafsiran Abu Bakar Al-Shairafi di kitab “Syarh Al-Risalah”.
Praktek Al-Syafi'i dalam kritik hadits ternyata sejalan dengan penafsiran kedua imam ini. Kita menemukan sering kali Al-Syafi'i menghukumkan mursal (terputus) untuk hadits-hadits yang diriwayatkan seorang perawi dari perawi lain yang hidup semasa dengannya apabila tidak terbukti keduanya pernah berjumpa atau mendengar satu sama lain.
Al-Syafi'i berkata, “Hadits Sulaiman bin Yasar dari Al-Miqdad bin Al-Aswad terputus. Kami tidak mengetahui bahwa ia pernah mendengar darinya.”
Hadits yang dimaksud adalah riwayat Malik, Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain dari Sulaiman bin Yasar dari Al-Miqdad bahwa 'Ali bin Abi Thalib memintanya bertanya kepada Nabi Saw tentang seorang laki-laki yang sering keluar madzi setiap kali berdekatan dengan istrinya. Rasulullah Saw lalu bersabda, “Jika salah satu dari kalian mendapati hal itu, maka cucilah kemaluanya, lalu berwudhulah seperti berwudhu hendak shalat.”
Al-Miqdad bin Al-Aswad disepakati wafat pada tahun 33 H, sementara Sulaiman bin Yasar diperselisihkan tahun kelahirannya; apakah tahun 34 H atau 27 H. Jika kita mengambil pendapat yang pertama (seperti yang dilakukan oleh Ibn 'Abd al-Bar, Al-Qadhi 'Iyadh dan Waly Al-'Iraqi) maka riwayatnya dari Al-Miqdad jelas terputus. Sebab ia belum lahir ketika Al-Miqdad telah wafat. Namun jika kita mengambil pendapat yang kedua (sebagaimana pendapat Ibn Hibban dan Al-'Alla'i), ada kemungkinan ia mendengar dari Al-Miqdad. Sebab ketika Al-Miqdad meninggal dunia, Sulaiman telah berusia 6 tahun apalagi keduanya berada di Madinah.
Namun begitu, “kemungkinan mendengar” saja menurut Al-Syafi'i tidak cukup untuk menyatakan sanad ini bersambung. Diperlukan informasi berupa riwayat yang jelas menunjukkan bahwa salah satu dari mereka berdua benar-benar pernah mendengar dari yang lain walau hanya satu kali. Itu sebabnya, Al-Syafii tetap menilai sanad ini terputus.
Begitu juga riwayat 'Atha bin Yasar dari Rafi' bin Khadij hadits tentang menanam pohon tanpa izin pemilik tanah. Al-Syafi'i berkata, “Hadits ini munqathi' (terputus) sebab 'Atha tidak berjumpa dengan Rafi'.”
Beliau berkata demikian meski keduanya hidup di masa yang sama. Rafi' bin Khadij wafat pada tahun 73 H dan 'Atha lahir pada masa pemerintahan Sayyidina 'Umar (jadi sebelum tahun 23 H) dan wafat pada tahun 114 H. Jadi ketika Rafi’ bin Khadij wafat, Atha bin Yasar telah menjadi seorang dewasa, usianya tak kurang dari 40 tahun. Ditambah lagi, Rafi' menetap di Madinah dan 'Atha di Mekah, kota ini sangat dekat, jadi kemungkinan perjumpaan mereka sangat besar.Namun tak adanya riwayat yang menunjukkan bahwa mereka pernah berjumpa menjadi penghalang untuk mensahihkan hadits ini menurut Al-Syafi'i.Al-Baihaqi berkata, “Hadits ini dilemahkan juga oleh Al-Bukhari.”
Al-Syafi'i juga berkata, “Sulaiman bin Yasar setahu kami tidak pernah mendengar dari 'Aisyah satu huruf pun. Jika ia meriwayatkan darinya, maka (riwayatnya) mursal.”
Beliau berkata seperti itu untuk melemahkan hadits Sulaiman dari 'Aisyah bahwa ia pernah mencuci mani dari pakaian Rasulullah Saw kemudian beliau shalat dengan memakai baju itu. Siti 'Aisyah menetap di Madinah hingga wafatnya pada tahun 57 H atau 58 H, dan Sulaiman bin Yasar adalah bekas hamba (maula) Umm Salamah –istri Nabi Saw juga seperti 'Aisyah- dan juga menetap di Madinah. Jadi kemungkinan mereka telah berjumpa sangat besar. Namun Al-Syafii tetap menoak riwayat Sulaiman dari 'Aisyah karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka pernah berjumpa walau hanya satu kali.
Ternyata, beberapa tahun
kemudian Al-Bukhari menemukan bukti yang menunjukkan pertemuan Sulaiman dengan
Aisyah sehingga ia lalu menshahihkan hadits ini dan mencantumkannya di kitab
Shahihnya. Hal
ini tidak merusak ucapan saya tentang kesamaan metode antara Al-Syafii dan
Al-Bukhari.Sebab pada asalnya mereka tetap sepakat bahwa dua orang perawi tidak
dinyatakan bersambung riwayatnya selama tidak terbukti pernah berjumpa. Andai
Al-Syafii menemukan bukti itu, Insya Allah ia pasti menshahihkan hadits
tersebut sebagaimana yang dilakukan Al-Bukhari. Wallahu a’lam.
AL-BUKHARI
BERAMAL DENGAN HADITS DHAIF?
Pertanyaan ini ditujukan
untuk beberapa orang yang menegaskan bahwa Al-Bukhari
melarang(ada yang berkatabahwa al Bukhari mengharamkan)
beramal dengan hadits dha’if.
Pendapat seperti ini memang bukan hal baru, namun
dibina di atas sangkaan yang belum pernah diuji kebenarannya. Saya berminat membahas perkara ini bukan untuk membela atau
membantah pihak manapun, akan tetapi untuk menjelaskan salah satu metode ulama
mutaqaddimin yang seringkali samar sehingga membuka kesalahpahaman.
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mengajak anda untuk merujuk Sahih
Al-Bukhari sendiri sambil menyadari bahwa kitab ini bukan sekedar “kumpulan
hadis-hadis sahih” belaka. Jika begitu, sungguh sia-sia al-Bukhari menghabiskan
16 tahun daripada usianya hanya untuk membuat sebuah kitab yang hanya
mengumpulkan hadis-hadis sahih tanpa menjelaskan kandungan hukum dan pengajaran
yang terdapat di dalamnya. Siapa yang membaca kitab ini dengan teliti akan
melihat bahwa kitab ini sebuah maha karya ilmu hadis yang sangat kaya dengan
berbagai ilmu, terutama fiqh dan ijtihad. Oleh karena itu, untuk menjawab
pertanyaan ini, saya mengajak melihat sendiri praktik amal beliau dalam
berhujjah agar jelas bagi kita adakah beliau berhujjah dengan hadis dha’if
ataukah tidak?
Fiqh Al-Bukhari
dan Hadis Muallaq
Para ulama
berkata: “ فقه البخاري في تراجمه”
(Fiqih Al-Bukhari terdapat di dalam judul-judul babnya).[1]
Oleh sebab itu, jika kita hendak mengkaji praktik ijtihad Al-Bukhari, maka kita
mesti memfokuskan pandangan kita kepada judulbab yang terdapat
di dalam kitab ini.
Dan siapa yang mengkaji
judul-judul ini akan mendapati bahwa hujjah fiqh al-Bukhari sedikitnya terdiri
dari dua bentuk hadis: hadis-hadis muallaq yang terdapat di awal bab dan
hadis-hadis sahih yang terdapat dalam kandungan bab. Hadis-hadis kategori
kedua, yakni yang diletakkan dalam kandungan bab, merupakan hadis-hadis inti
yang dijamin kesahihannnya oleh Imam al-Bukhari, oleh karena itu, hadits tersebut
keluar daripada kajian saya kali ini. Saya hanya akan mengkaji hadis-hadis
muallaq yang, menurut Al-Hafiz Ibn Hajar, tidak semuanya sahih, malah terdapat
hadis-hadis lemah padanya.[2]
Apabila mengkaji
hadits-hadits muallaq ini,
kita mesti tahu bahwa tidak semuanya disebutkan al-Bukhari
sebagai hujjah. Sebahagiannya
malah disebutkan untuk membantah hujjah pihak lain
dengan menyebutkan ‘illah yang terdapat di dalam hadits
ini. Maka, saya akan mencoba melihat dengan hati-hati setiap hadits
mu’allaq dha’if
yang disebutkan al-Bukhari, lalu
memastikan apakah beliau berhujjah dengannya
ataukah tidak? Untuk mengelak subjektifitas, sekaligus meluruskan pemahaman
saya yang lemah, saya selalu merujuk pendapat Ibn Hajar berkenaan setiap hadis
yang saya sebutkan.Sebab beliau, menurut saya, merupakan ulama yang paling
pakar dalam kajian hadits-hadits
mu’allaq ini.[3]
Temuan
Kajian singkat
saya menunjukkan bahwa al-Bukhari sangat
teliti memilih hujjah-hujjahnya.Sedapat
mungkin beliau berhujjah hanya dengan
hadits-hadits yang sahih,
namun begitu beliau tidak menutup pintu untuk beramal dengan hadis dha’if
jika terdapat aspek-aspek eksternal (قرائن
خارجية) tertentu yang menyokongnya.Beliau menggunakan
hadits-hadits dha’if
seperti ini bukan hanya dalam fadail a’mal, bahkan dalam beberapa permasalahanhukum.Namun
nisbah hadis-hadis seperti ini sangat sedikit dibandingkan hadis-hadis sahih
yang beliau gunakan.
Tulisan
ini terlalu sempit untuk menguraikan semua temuan saya, sebahagiannyapun
mungkin terbuka untuk bantahan dan penafsiran lain daripada pihak yang tidak
setuju. Oleh itu, saya hanya akan menyebutkan beberapa perkara yang menurut
saya sangat jelas dalam membuktikan kesimpulan dan rumusan saya tadi.
1. Al-Bukhari
beramal dengan hadis daif apabila kandungan hadis itu disokong oleh pelbagai
hadis-hadis lain yang serupa dengannya.
Contohnya ucapan
Al-Bukhari dalam kitab Al-Zakat:
وَقَالَ
طَاوُس : قَالَ مُعَاذ لِأَهْلِ الْيَمَنِائْتُونِى بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ
لَبِيسٍ فِى الصَّدَقَةِ ، مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ ،
وَخَيْرٌ لأَصْحَابِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم بِالْمَدِينَةِ .
Dan berkata
Tawus: Berkata Muadz kepada Ahli Yaman: “Berikan kepadaku pakaian yang lebar
untuk zakat, sebagai ganti daripada gandum dan jagung, perkara itu lebih ringan
untukmu dan lebih baik bagi sahabat-sahabat Nabi Saw di Madinah.”
Hadis
ini beliau sebutkan untuk menyokong pendapat beliau berkenaan dengan kebolehan
mengambil barang-barang lain selain emas dan perak sebagai zakat.Pendapat ini
selari dengan mazhab Hanafi. Berkata Ibn Rusyaid: “Al-Bukhari sepakat dengan
Hanafiah dalam masalah ini meski beliau seringkali berbeda pandangan dengan
mereka. Dalil yang membawa beliau kepada sikap ini.”[4]
Jika kita kaji,
sanad hadis ini sebenarnya munqati (terputus), Tawus bin Kisan tidak berjumpa
dengan Muadz bin Jabal. Berkata Ibn
Hajar:
هَذَا
التَّعْلِيق صَحِيحُ الْإِسْنَادِ إِلَى طَاوُس ، لَكِنَّ طَاوُسًا لَمْ يَسْمَعْ
مِنْ مُعَاذ فَهُوَ مُنْقَطِع ، فَلَا يُغْتَرُّ بِقَوْلِ مَنْ قَالَ ذَكَرَهُ
الْبُخَارِيّ بِالتَّعْلِيقِ الْجَازِمِ فَهُوَ صَحِيحٌ عِنْدَهُ لِأَنَّ ذَلِكَ
لَا يُفِيدُ إِلَّا الصِّحَّة إِلَى مَنْ عُلِّقَ عَنْهُ ، وَأَمَّا بَاقِي
الْإِسْنَادِ فَلَا ، إِلَّا أَنَّ إِيرَادَهُ لَهُ فِي مَعْرِضِ الِاحْتِجَاجِ
بِهِ يَقْتَضِي قُوَّتَهُ عِنْدَهُ ، وَكَأَنَّهُ عَضَّدَهُ عِنْدَهُ
الْأَحَادِيثُ الَّتِي ذَكَرَهَا فِي الْبَابِ .
Ta’liq ini sahih
sanadnya kepada Tawus, akan tetapi Tawus tidak mendengar daripada Muadz, jadi
ia munqati. Maka janganlah tertipu dengan ucapan orang yang berkata bahwa
Al-Bukhari menyebutnya dengan sighat jazm bermakna hadis ini sahih di sisinya,
sebab perkara ini hanya menunjukkan kesahihan hingga kepada orang yang dita’liq
(yakni Tawus), adapun sisa sanadnya adalah tidak (sahih).Akan tetapi, beliau menyebutkan
hadis ini sebagai hujah yang menunjukkan kuatnya hadis ini di sisinya.
Mungkin menurut beliau (kandungan) hadis ini disokong oleh hadis-hadis yang beliau sebutkan dalam bab ini.[5]
Sebelumnya, hadis ini juga dihukumkan munqati oleh Imam
Al-Syafii, namun beliau menerima kandungannya karena beliau percaya Tawus
benar-benar mengetahui perkara ini. Berkata Al-Syafii: “Tawus mengetahui
perkara Muadz meskipun beliau tidak berjumpa dengannya karena beliau berjumpa
ramai dengan murid-murid Muadz di Yaman setahuku.” [6]
2. Al-Bukhari
Beramal dengan hadis dhaif apabila kandungan hadis tersebut bersesuaian dengan
amal yang disepakati seluruh ulama.
Berkata
Al-Bukhari:
وَيُذْكَر
أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى بِالدَّيْنِ قَبْل
الْوَصِيَّة
Disebutkan
bahwa Nabi Saw menetapkan bahawa hutang (mesti dibayar) sebelum wasiat.
Al-Bukhari
menyebutkan hadis ini untuk menyokong pendapatnya bahwa membayar hutang orang
yang meninggal dunia mesti didahulukan daripada melaksanakan wasiatnya. Meski
hadis ini lemah sanadnya, namun beliau berhujah dengannya karena aspek lain
yang meliputi hadis ini, yaitu para ulama bersepakat mengamalkan hadis ini.
Berkata Al-Hafiz
Ibn Hajar:
هَذَا
طَرَف مِنْ حَدِيث أَخْرَجَهُ أَحْمَد وَالتِّرْمِذِيّ وَغَيْرهمَا مِنْ طَرِيق
الْحَارِث وَهُوَ الْأَعْوَر عَنْ عَلِيّ بْن أَبِي طَالِب قَالَ : " قَضَى
مُحَمَّد صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الدَّيْن قَبْل الْوَصِيَّة ،
وَأَنْتُمْ تَقْرَءُونَ الْوَصِيَّة قَبْل الدَّيْن " لَفْظ أَحْمَد وَهُوَ
إِسْنَاد ضَعِيف ، لَكِنْ قَالَ التِّرْمِذِيّ : إِنَّ الْعَمَل عَلَيْهِ عِنْد
أَهْل الْعِلْم ، وَكَأَنَّ الْبُخَارِيّ اِعْتَمَدَ عَلَيْهِ لِاعْتِضَادِهِ
بِالِاتِّفَاقِ عَلَى مُقْتَضَاهُ ، وَإِلَّا فَلَمْ تَجْرِ عَادَته أَنْ
يُورِد الضَّعِيف فِي مَقَام الِاحْتِجَاج بِهِ ، وَقَدْ أَوْرَدَ فِي الْبَاب مَا
يُعَضِّدهُ أَيْضًا
Ini adalah
sebahagian daripada hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Tirmidzi dan
lain-lain, dari jalan Harith Al-A’war, dari Ali bin Abi Talib: “Nabi Muhammad
Saw telah menetapkan bahwa hutang sebelum wasiat, namun kamu membacanya wasiat
sebelum hutang.” Demikian lafaz Ahmad.Ia adalah sanad yang lemah, akan tetapi
Al-Tirmidzi berkata bahawa amal berlaku atas hadis ini menurut para ahli ilmu. Seolah-olah
Al-Bukhari berpegang dengan hadis ini karena sokongan kesepakatan (ulama) akan
isinya. Jika tidak, bukan kebiasaan beliau menyebutkan hadis dhaif dengan
tujuan berhujah. Beliau juga menyebutkan di dalam bab ini, perkara-perkara yang
menyokongnya.[7]
Menarik
kesimpulan ucapan Ibn Hajar bahwa bukan kebiasaan Al-Bukhari berhujah dengan hadis dhaif, namun beliau kadangkala
melakukannya jika memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana kesimpulan saya
di atas. Ini juga menyokong kesimpulan bahwa Al-Bukhari tidak pernah melarang
beramal dengan hadis dhaif, malah kadang melakukannya sebagaimana sikap jumhur
fuqaha.
3. Al-Bukhari terkadang beramal dengan hadis dhaif apabila kandungannya menjelaskan atau menafsirkan kandungan hadis lain.
Sebahagian
pembaca mungkin akan meyanggah bahwa kategori ini masuk dalam bahagian hasan
lighairi. Namun pendapat ini menurut saya sangat lemah. Jika benar hadis ini
hasan lighairi menurut Al-Bukhari, dan saya menyangsikan beliau memiliki konsep
hasan lighairi sebagaimana yang difahami oleh mutaakhirin, niscaya beliau tidak
akan meriwayatkannya dengan sighat tamrid. Sebaliknya, beliau akan menggunakan
sighat jazm sebagaimana kebiasaan beliau di hadits-hadits
yang lain.
Misalnya, berkata Al-Bukhari:
Misalnya, berkata Al-Bukhari:
وَيُذْكَر عَنْ أَبِي حَسَّان عَنْ اِبْن عَبَّاس أَنَّ
النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَزُور الْبَيْت أَيَّام مِنًى
“Disebutkan daripada Abu Hassan dari
Ibn Abbas bahwa Nabi Saw berziarah (maksudnya: melakukan tawaf ziarah/ifadah)
pada hari-hari Mina.”
Menurut Al-Hafiz Ibn Hajar, tujuan
Al-Bukhari menyebutkan hadis ini adalah untuk menghimpun dua riwayat yang saling
bertentangan, yakni riwayat Ibn Umar dan Jabir yang menceritakan bahawa Nabi
Saw melakukan tawaf ifadah pada siang hari, dan riwayat Abu Zubeir dari Ibn
Abbas menyebutkan bahwa Nabi Saw melakukan tawaf itu pada malam hari.
Riwayat Abu Hassan ini menghimpun kedua hadis ini dan menyimpulkan bahwa
Nabi Saw melakukan kedua-duanya (tawaf pada siang dan malam hari) sebab baginda
tawaf berkali-kali selama mabit di Mina.
Berkata Ibn Hajar: “Maka yang
dimaksudkan dalam hadis Jabir dan Ibn Umar adalah hari pertama. Dan hadis Ibn
Abbas untuk hari-hari (Mina) yang lain.”[8]
Beliau juga berkata: “Terdapat hadis mursal yang menyokong riwayat Abu Hassan
ini. Dikeluarkan oleh Ibn Abi Syaibah dari Ibn Uyainah: telah memberitahuku Ibn
Tawus dari bapanya: bahwa Nabi Saw bertawaf setiap malam.”[9]
Jadi, jelaslah bahwa Al-Bukhari berhujah dengan hadis ini dalam sebuah masalah hukum.Padahal, jika kita perhatikan sanad hadis ini, memang cukup lemah. Guru-gurunya, seperti Ibn Al-Madini dan Ahmad bin Hanbal, mengingkari hadis ini karena tidak ada yang meriwayatkannya dari Qatadah melainkan Hisyam. Agaknya, pandangan Al-Bukhari tentang hadis ini pun tidak jauh berbeda dengan kedua gurunya. Berkata Ibn Hajar:[10]
وإنَّما
مَرَّضَه البُخاريُّ لِشِدَّةِ غَرابَتِهِ
Al-Bukhari
menyebutnya dengan sighat tamrid karena sangat munkarnya.
Pendapat Jumhur
Demikian sedikit
temuan yang bisa saya bagikan
pada kali ini, tentu saja kajian ini sebenarnya lebih luas daripada ini, karena
kesempitan tempat.Boleh disimpulkan bahwa al-Bukhari
tidak melarang, apalagi mengharamkan, beramal dengan hadis dhaif jika
kandungannya didukung oleh berbagai
aspek eksternal yang menguatkannya.Paling tidak, itulah yang dipahami oleh
Al-Hafizh Ibn Hajar
apabila mensyarahkan hadis-hadis mu’allaq tersebut di
atas.
Pendirian
Al-Bukhari ini samasekali tidak merendahkan martabat
beliau sebagai ahli hadits yang paling
unggul, malah menunjukkan ketinggian derajat beliau dalam hadis dan fiqh
sekaligus. Sebab sikap yang beliau tunjukkan ini tidak lain adalah pendapat mayoritas
ulama dari kalangan ahli hadits dan ahli fiqh
dari kalangan ‘ulama tabi’in,
juga guru-guru al-Bukhari,
rekan-rekannya, dan murid-muridnya, dan
sebagian besar ‘ulama pada hari
ini.
Kenyataan ini
sekaligus menyadarkan kita untuk selalu melihat para ulama secara objektif dan
bukan melalui mata subjektifitas yang hanya menginginkan mereka berperilaku
sejalan dengan pemahaman dan kemauan kita.Semoga Allah memberikan kebijaksanaan
kepada kita semua dalam melihat kebenaran.
Wallahu a’lam bishshawab.
Komentar :
MasyaAllah tabarakallah.Artikel yang sangat
bagus daripada ustazana Umar Muhammad Noor.Ia melengkapkan lagi tulisan singkat
saya berkenaan beramalnya al-Bukhari untuk hadith-hadith dhaif. Jika hujah yang
saya bawa dahulu ialah dari fatwa Imam al-Bukhari dalam kitab`ilal al-Kabir
karya Imam al-Tirmizi muridnyanya al-Bukhari, maka kali ini ust Umar membawa
hujah dari pengamalan praktikal Imam al-Bukhari dalam kitab al-Jami al-Sahih
(masyhur dengan nama Sahih al-Bukhari) karya Imam al-Bukhari sendiri. Inilah
peri pentingnya kita memahami manhaj huffaz salaf mutaqaddimin dalam menyusun
kitab mereka.Alhamdulillah saya amat gembira dengan kajian ini. Barakallah hu
fekum
Maka sangat benarlah jawapan yang pernah
diberikan oleh Syaikhuna Dr. Hamzah al-Malibari dan Syaikhuna Dr. Mahir Yasin
al-Fahl, bahawa al-Bukhari sememangnya beramal dengan hadith dha'if.Bagitu juga
kata Syaikh `Abdul `Aziz al-Tharifi dalam siri kelas hadith2 ma'lul thaharah,
katanya anggapan bahawa huffaz salaf tolak hadith dhaif scr mutlak adalah fihi
nazor!!
Assalamualaykum wbt.sy berminat dengan
kajian-kajian ustaz brkaitan dengan hadith. sekiranya tidak keberatan, boleh
kiranya ustaz meninggalkan emel usataz di sini. kemungkinan ada perkara-perkara
yang boleh sy rujuk dengan ustaz. Syukran.
syukran atas perkongsian ustaz...
saya pun banyak kurang lg ilmu... menarik belajar ulum al-Hadith, takhrij al-Hadith, dan manahij al-Muhaddithin...
saya pun banyak kurang lg ilmu... menarik belajar ulum al-Hadith, takhrij al-Hadith, dan manahij al-Muhaddithin...
Assalamu 'alaikum,
Ustazana,
Saya yang faqir ini sgt berterima kasih jika ustaz dapat menambah serba sedikit lagi penulisan artikel ini dengan merujuk kepada kitab "Al-Abwaab wat-Tarajim li Sohiihil-Bukhari" oleh Fadhilatus-syaikh al-'Allamah al-Muhaddith Muhammad Zakariyya ibn Yahya al-Kandahlawi.
Ustazana,
Saya yang faqir ini sgt berterima kasih jika ustaz dapat menambah serba sedikit lagi penulisan artikel ini dengan merujuk kepada kitab "Al-Abwaab wat-Tarajim li Sohiihil-Bukhari" oleh Fadhilatus-syaikh al-'Allamah al-Muhaddith Muhammad Zakariyya ibn Yahya al-Kandahlawi.
[1]Muqaddimah
Fath Al-Bari hal.17.
[2]Muqaddimah
Fath Al-Bari, hal.24 dan seterusnya.
[3]Kitab
beliau bertajuk Taghliq Al-Ta’liq membuktikan perkara itu.Sejauh pengetahuan
saya tidak ada kitab yang membahas hadis-hadis muallaq Sahih Al-Bukhari
selengkap kitab ini.
[4]Fath
Al-Bari 3/392.
[5]Ibid.
[6]Al-Um
2/12.
[7]Fath
Al-Bari 5/462.
[8]Fath
Al-Bari 3/716.
[9]Ibid.
3/717.
[10]Taghliq
Al-Ta’liq