Tarjih atas
Hadits-Hadits Shalat Tasbih
Al Hafizh Ibn Nashiruddin ad Dimasyqi [W. 842
H][at Tarjiih li hadiitsi shalaat at Tasbih]
Alih Bahasa : Agus Muslim
Para sahabat yang telah meriwayatkan
hadits tentang shalat tasbih dari Nabi saw. adalah Ibn ‘Abbas, Fadhl bin al
‘Abbas, al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib, ‘Ali bin Abi Thalib, Ja’far bin Abi
Thalib, al ‘Abbas bin Ja’far, Ummu Salamah, juga orang-orang anshar yang tidak
disebutkan namanya radhiyallah ‘anhum ajma’iin. Hadits Shalat tasbih telah diriwayatkan
secara mursal oleh Muhammad bin Ka’ab al Qarzhi, Abul Jauza, Mujahid, Isma’il
bin Rafi’, ‘Urwah bin Ruwaim. Hadits Ibn ‘Abbas telah cukup untuk menjelaskan
semua jalur periwayatan ini.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرِ بْنِ الْحَكَمِ النَّيْسَابُورِيُّ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ أَبَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلَا أُعْطِيكَ أَلَا أَمْنَحُكَ أَلَا أَحْبُوكَ أَلَا أَفْعَلُ لَكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَقَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ وَخَطَأَهُ وَعَمْدَهُ وَصَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ وَسِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ عَشْرُ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةٍ فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ قُلْتَ وَأَنْتَ قَائِمٌ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُ وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسَةٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً
Rijal Hadits
‘Ikrimah Maula Ibn
‘Abbas ra. : Tsiqat, dikenal keadaannya, para ulama
mengambilnya sebagai hujjah, jika ada yang mempermasalahkannya, maka hanya di
sebatas fatwa-fatwanya saja.
Al Hakam bin Abban : Ibn Ma’in telah menganggapnya tsiqat, demikian juga ibn al
Madini, Ahmad bin Hambal, an Nasa i, al ‘Ajili, Ibn Namir, Ibn Hibban telah
mencatatnya termasuk perawi tsiqat dalam ats Tsiqat. Abu Zur’ah berkata, “Dia
haditsnya baik”. Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Aku mendatangi ‘Adn, maka
aku tidak melihat seorang pun yang seperti al Hakam [dalam ilmunya].
Disamping kesepakatan penilaian tsiqat kebanyakan ‘ulama terhadapnya, Ibn al
Mubarak telah berkata, “al Hakam bin Abban, Hisam bin Mishk, dan Ayyub bin
Suwaid, aku telah menganggap mereka tertuduh.” Ibnu Khuzaimah berkata, “Ahli
ilmu memperbincangkannya terkait pengambilan haditsnya sebagai hujjah.”
Adapun
perkataan Ibn al Mubarak, mungkin saja dia tidak mengenalnya dan mengira
sebagai perawi majhul atau samar baginya, lalu dia berkata demikian tadi.
Adapun perkataan Ibn Khuzaimah, saya tidak tahu siapa itu yang mempermasalahkan
pengambilan haditsnya sebagai hujjah setelah jelasnya penilaian tsiqat dari
‘Ulama di atas. Dan bagaimanapun juga, baik Ibn al Mubarak maupun Ibn Khuzaimah
tidak menyertakan sebab mengapa mereka menganggapnya mempunyai cacat. Penilaian
cacatnya tidak dijelaskan sebab-sebabnya, maka tertolak oleh penilaian ‘adil
tersebut di atas. Karena penilaian ‘adil adalah didahulukan atas penilaian
cacat yang tanpa keterangan sebab.
Musa bin ‘Abdul ‘Aziz : Ibn Ma’in berkata, “Aku menilainya tidak mengapa” An Nasa i
berkata, “Tidak mengapa.” Ibn al Madini berkata, “Dia lemah” Abu al
Fadhl berkata, “Haditsnya diingkari” Ibn Syahin mencatatnya pada kitabnya
ats Tsiqat, demikian juga Ibn Hibban, namun dia berkata, “Terkadang dia
salah meriwayatkan”.
Adapun
perkataan Ibn Ma’in “tidak mengapa”, maknanya adalah tsiqat. Ibn Abi Khaitsamah
berkata, “Aku bertanya pada Yahya bin Ma’in, “Anda berkata bahwa si anu
tidak mengapa dan si anu lemah?” dia menjawab, “Perkataanku tidak mengapa
artinya dia tsiqat [Muqaddimah Ibn Shalah]. Adapun perkataaan Ibn al Madini
“Dia lemah”, dia tidak menyebutkan sebab pelemahannya, maka jadilah dia
penilaian yang tidak jelas dan tertolak dihadapan penilaian tsiqat ulama
lainnya. Kasus seperti ini terjadi pada penilaian Ibn Hajar al ‘Asqalani pada
Hadyussari ketika menilai Muhammad bin Basyar, dia berkata, “’Amr bin ‘Ali
al Falas telah menuduhnya lemah namun tidak menyertakan sebab-sebabnya, maka
tidaklah mereka menganggap penilaian lemahnya itu.”
Adapun
perkataan Abu al Fadhl as Sulaimani “Haditsnya diingkari”, tidaklah
memperkuat penilaian lemah pada Musa bin ‘Abdul ‘Aziz didepan penilaian tsiqat
Ibn Ma’in, an Nasa i, Ibn Hibban dan Ibn Syahin, terlebih bahwa penilaian Ibn
Ma’in dan an Nasa i dikenal amat ketat. Kesimpulannya, Musa bin ‘Abdul ‘Aziz
adalah jujur dan ‘adil.
Apabila
anda telah mengetahui kedudukan al Hakam bin Abban dan Musa bin ‘Abdul ‘Aziz,
maka perkataan adz Dzahabi yang mengatakan bahwa Musa bin ‘Abdul ‘Aziz
haditsnya diingkari [Mizan al I’tidal], terlebih al Hakam bin Abban, tidaklah
perkataan adz Dzahabi tersebut kuat [membutuhkan penjelasan].
Lalu
apa maksud adz Dzahabi mengatakan haditsnya diingkari [karena menyendiri]?
Apakah yang Beliau maksud itu jalurnya menyendiri secara mutlak atau diingkari
karena menyalahi perawi-perawi yang tsiqat? Adapun jawaban untuk pertanyaan
pertama, kita tahu bahwa hadits Musa bin ‘Abdul ‘Aziz tentang shalat tasbih
tidaklah hanya mempunyai satu jalur, banyak perawi yang meriwayatkannya dari
jalur yang lain. Adapun untuk kemungkinan kedua, maka tidaklah berlaku secara
mutlak, karena Musa tidaklah berstatus lemah. Adz Dzahabi berkata dalam
Mukhtasar Sunan al Kubra [juz III/23], “dia tidak lemah”. Hadits Musa
bin ‘Abdul ‘Aziz tidaklah menyalahi seorangpun perawi, bahkan dia dikuatkan
oleh begitu banyak p[erawi lainnya yang akan saya jelaskan pada tempatnya
insyallah.
‘Abdurrahman bin Bisyr
bin al Hakam : Tsiqat, Imam al Bukhari
dan Muslim menggunakan haditsnya sebagai hujjah.
Setelah
mengetahui rijal-rijal pada sanad hadits di atas, maka mungkin bahwa hadits
tersebut memenuhi kriteria hadits hasan, sebagaimana penuturan al hafizh dan
lain-lain. Bahkan Abu dawud telah menganggapnya sebagai hadits shahih dengan
sanad ini. Imam al Bukhari memasukkannya ke dalam al Adab al Mufrad dengan
sanad ini.
Jalur
Musa bin ‘Abdul ‘Aziz dikuatkan oleh jalur-jalur lain :
1.
Hadits
riwayat Muslim bin Ibrahim dari al Mustamirr bin ar Rayan dari Abul Jauza dari
‘Abdullah bin ‘Amr, inilah jalur yang mengherankan Imam Ahmad seperti yang akan
dijelaskan.
2. Hadits
riwayat Abu Dawud, Telah mengatakan pada kami Abu Taubah ar Rabi’ bin Nafi’,
mengatakan pada kami Muhammad bin Muhajir, dari ‘Urwah bin Ruwaim, telah
mengatakan pada kami seorang sahabat anshar bahwa Rasulullah saw. berkata pada
Ja’far, “...”.Abu Taubah adalah tsiqat. Muhammad bin Muhajir adalah tsiqat.
‘Urwah bin Ruwaim adalah tsiqat. Adapun sahabat anshar, maka dia adalah sahabat
yang diikhtilafkan namanya. Al Hafizh al Mizzi berkata, “Ada yang berkata
dia adalah Jabir ra.” Al Hafizh berkata, “Dia adalah Abu Kabsyah al
Anbari”[syarah al Adzkar].
Bagaimanapun
juga, kemajhulan sahabat tidaklah mengapa. Atas dasar ini al Hafizh berpendapat
dalam Amalinya, “Dan atas dasar dua perkiraan, maka sanad hadits ini tidaklah turun
dari derajat hasan”. Ketiga jalur kuat tersebut jika dikumpulkan akan
menjadikan hadits tersebut shahih, dan itulah tuntutan Qawa’id ilmu hadits.
Pandangan ‘Ulama tentang Derajat hadits
Para
hafizh mempunyai pandangan berbeda dalam menghukumi derajat hadits shalat
tasbih.
1.
Shahih
Inilah pendapat Abu Dawud, Abu ‘Ali bin as Sakan, Ibn Mandah,
al Hakim, Abu Bakar al Ajuri, Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Musa al Madini, ad
Dailami, al Khathib al Baghdadi, Abu Sa’ad as Sam’ani, Abu al Hasan bin al
Mufadhdhal, Abu Muhammad ‘Abdurrahim al Mishri gurunya al Mundziri, al Bulqini,
al ‘Ala i, az Zarkasyi, Ibn Nashiruddin ad Dimasyqi, Ibn Hajar al ‘Asqalani, as
Suyuthi, az Zabidi. Mungkin juga Imam Ahmad adalah yang termasuk memandangnya
shahih, dia takjub dengan adanya jalur al Mustamirr bin ar Rayyan dari Abul
Jauza dan berkata, “al Mustamirr adalah tsiqat, dan seorang tsiqat, maka
haditsnya shahih.”
2.
Hasan
Inilah pendapat al Baghawi, al Mundziri, Ibn ash Shalah, an
Nawawi, as Subuki. Perkataan Imam Muslim, “Tidaklah diriwayatkan hadits ini
dengan sanad yang lebih baik daripada ini.” Beliau memang tidak menganggapnya
shahih, tapi kurang daripada shahih sehingga menganggapnya makbul, maka dia itu
hasan menurut istilah ulama mutaakhkhir.
3.
Dha’if
Inilah pendapat at Tirmidzi, al ‘Uqaili, Abu Bakar ibn al
‘Arabi, an Nawawi dalam syarah Muhadzdzab, adz Dzahabi, Ibn Hajar dalam Talkhis
Kabir.
4.
Palsu
Inilah pendapat Ibn al Jauzi, Ibn Taimiyyah, Ibn ‘Abdil Hadi,
Sirajuddin al Quzwaini.
Para
huffazh yang menilainya shahih mungkin melihat dari banyaknya jalur
periwayatan, sehingga jadilah ia shahih lighairihi dan bukan lidzatihi, namun
Abu Dawud menganggapnya shahih lidzatihi.
Para
Huffazh yang menilainya hasan mungkin melihat sebagian jalur hadits ini
sehingga jadilah hasan lidzatihi dalam pandangan mereka, sebagaimana pendapat
al Mundziri tentang salah satu jalur hadits ini, demikian juga Ibn Hajar ketika
menilai jalur Musa bin ‘Abdul ‘Aziz dan jalur orang anshar yang tidak
disebutkan namanya. Maka jadilah hadits ini shahih di sisinya jika dikumpulkan
kedua jalur tadi bersama jalur lainnya.
Adapun Huffazh yang
menilainya dha’if, seperti Imam at Tirmidzi, Beliau menghukumi demikian
berdasarkan jalur yang dia milki, seolah kita tahu Beliau tidak mempunyai semua
jalur yang ada dengan adanya bukti-bukti :
a.
Beliau
mengeluarkan hadits ini dari jalur Abu Rafi’ sedangkan dia lebih lemah dari
dari jalur Ibnu ‘Abbas dari jalur Musa bin ‘Abdul ‘Aziz.
b.
Beliau
tidaklah memiliki jalur Musa bin ‘Abdul ‘Aziz yang telah dianggap shahih oleh
sebagian huffazh.
Adapun
Huffazh yang menilainya sebagai hadits palsu, ia adalah salah dan berbuat
buruk. Diantara penolakan yang paling kuat untuk hal ini adalah bahwa Imam al
Bukhari telah mengeluarkan hadits ini, dengan sanad ini, dalam al Adab al
Mufrad pada Bab ketika mendengar petir. Tidak ada seorangpun yang pernah
mengatakan bahwa Imam al Bukhari pernah meriwayatkan hadits palsu dalam
karangannya.
Ibn
al Jauzi menghukumi hadits ini dengan palsu adalah karena penilaian majhulnya
terhadap Musa bin ‘Abdul ‘Aziz. Ini adalah ucapan yang mengherankan, karena
yang kita kenal, bahwa majhulnya seorang rawi adakalanya majhul ‘ain dan
adakalanya majhul hal. Adapun majhul ‘ain, maka sedah tertolak oleh adanya
banyak rawi yang meriwayatkan haditsnya. Juga majhul ‘ain akan terangkat
apabila walaupun hanya ada dua riwayat berasal darinya. Adapun majhul hal, maka
ia sudah tertolak dengan pengakuan Ibn Ma’in, Ibn al Madini, an Nasa i, Abul
Fadhl as Sulaimani, Ibn Hibban dll. Dan ulama-ulama hadits lainnya sangat menolak penilaina Ibn al Jauzi tentang
hadits ini serta menolak memasukannya ke dalam kitabnya al Maudhu’at [Ibn
Hajar/at Talkhis].