Oleh : Dr. Phil. Kamaruddin Amin,
M.A.
[Dalam Bukunya hal. 71-79, rujuk juga
untuk catatan kakinya]
Nashiruddin al Bani dilahirkan di
ashkodera, ibukota al Bania pada tahun 1914. Saat masih muda, ia hijrah ke
Damaskus, syiria, tempat ia menyelesaiakan sekolah dasarnya. Pada umur 20
tahun, di bawah pengaruh jurnal al Manar, al Bani menyelesaiakan karya pertamanya
tentang hadits, sebuah transkripsi dan komentar atas
karya al ‘Iraqi, al Mughni. Al Bani tidak menyelami hadits di lingkungan
sekolah formal, ia mendalaminya di dalam perpustakaaannya sendiri, terutama
perpustakaan Zhahiriyyah Damaskus. Meskipun demikian, pada tahun 1961 al Bani
diangkat menjadi profesor hadits di Universitas Islam Madinah. Ia meninggal
pada tahun 1999.
Sebagai seorang muslim, al bani
mengabdikan sebagian besar masa hidupnya untuk meneliti secara mendalam hadits
Nabi. Meskipun konon tidak menerima sebuah otoritas [ijazah] hadits dari salah
seorang sarjana terkenal, al Bani telah meneliti sejumlah kitab hadits,
termasuk sahih Bukhari, Muslim, Sunan Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa i dan Ibnu
Majah. Sebagai sarjana yang produktif ia menulis 117 buku, diantaranya:
Silsilah al Ahadits adh Dha’ifah wal Maudhu’ah. Dalam karya-karyanya ini al
Bani telah mengidentifikasi 990 hadits yang dianggap autentik oleh mayoritas
sarjana muslim, namun oleh al Bani dianggap lemah. Memang ia menyatakan lemah sejumlah
hadits yang terdapat dalam Sahih Muslim, salah satu koleksi hadits yang paling
bergengsi. Namun tanpa diduga, beberapa sarjana muslim telah menulis kritik
tajam terhadapnya. Diantaranya: Tanaqudhat al Bani al Wadhihat oleh Hasan bin
‘Ali as Saqqaf, at Ta’rif bi awham man qassama as Sunan ilaa sahih wa dha’if
oleh Mahmud Sa’id Mamduh, Tabyin Dhalalat al Bani dan syeikh al Wahabiyyah al
Mutamahdits oleh ‘Abdullah al Harari, Bayin awham al Bani oleh Asad Salim
Tayyim, dan al Madzhabiyyah al Akhthar Bid’atin Tuhaddidu asy Syari’ah al
Islamiyyah oleh Sa’id Ramadhan al Buthi. Untuk merespon kritik ini, sejumlah
sarjana juga telah menuliskan karya dukungan terhadap al Bani.
Pada bagian ini, penulis akan
mendiskusikan metode al Bani dalam menentukan autentisitas dan kepalsuan sebuah
hadits, terutama argumentasi mengenai hadits-hadits lemah yang terdapat dalam
shahih Muslim. Penulis juga akan menganalisa hadits-hadits yang dinyatakan
lemah oleh al Bani, baik dari perspektif ilmu hadits tradisional maupun dari perspektif
metodologi sarjana non muslim dalam melakukan penanggalan terhadap sebuah
hadits. Sejauhmana al Bani mendasarkan penilaiannya atas ilmu hadits
tradisional, sejauhmana metodologinya melenceng dari metode tradisional dan
apakah ia konsisten menerapkan metodenya? Apakah implikasi metode al Bani jika
diterapkan pada hadits-hadits yang lain? Sejauhmana Sahih Muslim kebal terhadap
kritik? Penulis berpendapat bahwa metode al Bani tidaklah baru dan bukan tidak
konsisten, sebagaimana diklaim oleh para pengkritiknya. Al Bani tidak melenceng
sedikitpun dari metode kesarjanaan muslim tradisional, meskipun
pendapat-pendapatnya tentu berbeda dari pendapat banyak sarjana muslim yang
turut berpartisipasi dalam mendiskusikan masalah ini.
Hadits yang dinyatakan lemah oleh al
Bani
Untuk mengilustrasikan metode al
Bani, penulis akan menganalisis hadits tentang “sapi”, salah satu hadits yang
dilemahkan oleh al Bani. Penulis memilih mendiskusikan hadits ini, bukan karena
lebih penting dari yang lain, tetapi hanya karena hadits tersebut direkam,
diantaranya dalam sahih muslim, salah satukitab koleksi hadits paling
bergengsi. Bunyi hadits tersebut adalah:
“Jangan menyembelih kurban kecuali seekor sapi yang
cukup umur, kecuali jika sulit bagimu, maka sembelihlah seekor domba”
Metode al bani dalam menentukan autentisitas dan
kepalsuan sebuah hadits tertentu, terutama berdasarkan analisis pada isnad,
dengan menggunakan informasi yang terdapat dalam kamus-kamus biografi. Al Bani
berpendapat bahwa hadits ini lemah disebabkan oleh fakta bahwa salah seorang
perawinya adalah Abu az Zuabair. Menurutnya, riwayat Abu az Zubair dari Jabir
tidak bersambung dengan alasan bahwa [1] Para kritikus hadits menyifati Abu az
zubair sebagai mudallis [2] Dia tidak secara eksplisit mengatakan mendengar
langsung dari jabir, namun menggunakan lafal “‘an”. Al Bani menambahkan, telah
disepakati dalam ilmu hadits, bahwa hadits yang diriwayatkan oleh perawi
mudallis tidak bisa dijadikan hujjah, apabila dia tidak menyatakan secara
eksplisit cara penerimaan haditsnya. Hal inilah yang terjadi pada diri Abu az
Zubair. Al Bani menyimpulkan bahwa kebenaran setiap hadits yang diriwayatkan
oleh Abu az Zubair dari Jabir ra. atau dari yang lain, yang menggunakan lafal
“an” dan sejenisnya, harus ditunda. Dengan kata lain, ketergantungan pada
hadits tersebut harus diakhiri hingga cara penerimaannya menjadi jelas atau
ditemukannya sebuiah hadits yang menguatkan. Akan tetapi menurut al bani,
riwayat Abu az Zubair dari Jabir tidak diragukan apabila diriwayatkan oleh al
Laits bin Sa’id, karena diriwayatkan al Laits mengklaim telah menerima riwayat
dari Abu az Zubair hanya hadits yang telah didengarnya langsung dari Jabir ra.
Dari 360 hadits yang diriwayatkan oleh Abu az Zubair dalam kutub as Sittah,
hanya 27 yang diriwayatkan oleh al Laits bin Sa’id dari Abu az Zubair.
Hadits tersebut di atas menyatakan
bahwa tidak diizinkan menyembelih untuk kurban seekor domba yang berumur 1
[satu] tahun, kecuali jika keadaan ketika seekor sapi yang cukup umur begitu
mahal harganya dan sulit didapatkan di pasar. Demikian juga dengan hadits dari
‘Uqbah bin ‘Amir yaitu “kami bersama Nabi saw. menyembelih kurban seekor domba
yang berumur satu tahun”, hadits yang lain adalah dari Mujasyi’ bin Mas’ud
yaitu “Sungguh domba yang berumur satu tahun sama fungsinya dengan domba yang
berumur dua tahun”. Menurut al Bani, dua hadits terakhir adalah sahih, karena
perawi yang terlibat dalam jaringan isnadnya dapat dipercaya. Namun demikian,
al bani tidak menjadikannya sebagai penguat bagi hadits Abu az zubair untuk
mengangkat kualitasnya menjadi sahih. Al bani tidak memahami hadits tersebut
secara harfiah, ia memilih menafsirkan dua hadits yang menurutnya sahih
tersebut dengan mengutip hadits lain yang memiliki isnad tsiqat sambil terus
mengklaim bahwa hadits Abu az Zubair adalah hadits lemah. Al Bani lebih suka
memahami hadits Abu az zubair secara harfiah dan enggan menafsirkannya, karena
hadits ini tidak autentik. Penafsiran adalah bagian dari autentifikasi. Oleh
karena itu, tidak ada ruang untuk penafsiran bagi riwayat-riwayat atau hadits
lemah.
Mengenai hadits ‘Uqbah bin ‘Amir, al
Bani berpendapat bahwa hadits tersebut tampak membolehkan domba yang berumur
satu tahun sebagai sembelihan untuk kurban. Akan tetapi kebolehan itu diberikan
hanya untuk ‘Uqbah. Kebolehan ini berdasarkan atas sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh al Bukhari yaitu “Nabi saw. membagi kurbannya diantara
sahabat dan ‘Uqbah menerima seekor domba. Saya [‘Uqbah] berkata,”Wahai Rasul
saya menerima seekor domba”. Nabi berkata,”berkurbanlah dengannya”.
Al Bani mengutip hadits lain untuk
menafsirkan hadits Mujasyi’ bin Mas’ud. Hadits ini tampaknya membolehkan
menyembelih seekor domba berumur satu tahun. Menurut al Bani, bukan ini yang
dimaksudkan. Menurut sebuah hadits dari al Barra’ yaitu “Paman dari ibuku Abu
Burdah menyembelih seekor binatang untuk kurban sebelum ‘id al adha”. Nabi
berkata,”itu adalah daging kambing [tidak sah kurbannya]” Ia berkata,”Ya
Rasulullah, saya memiliki” Nabi berkata,”Berkurbanlah dengannya, dan hal
tersebut tidak cocok bagi orang lain selain engkau.”
Al Bani berpandangan bahwa kedua
hadits sahih tersebut dan hadits dari ‘Uqbah dan al Barra’ mengonfirmasikan
kelemahan hadits Abu az Zubair. Metode al bani telah jelas. Pertama-tama ia
menganalisis sanad hadits.Isnad yang tidak tsiqat, berarti tidak tsiqat
haditsnya. Akibatnya, al Bani merasa tidak penting menafsirkan sebuah hadits
yang memiliki isnad tidak tsiqat, apabila matannya tidak sesuai dengan matan
dari isnad lain yang tsiqat. Penilaian al bani tentang kelemahan hadits yang
sedang kita bahas berbeda dari pendapat sarjana-sarjana hadits terkenal,
seperti Ibnu Hajar al ‘Asqalani.
Implikasi Metodologi al Bani
Dari 960 hadits yang diriwayatkan
oleh Jabir ra., 360 diantaranya diriwayatkan lebih lanjut oleh Abu az Zubair.
Penulis meneliti seluruh hadits yang berjalur Abu az Zubair dari Jabir yang
tertulis dalam kutub as Sittah. Pada kenyataannya, jalur Abu az Zubair dari
Jabir muncul dalam 548 hadits, karena beberapa hadits tertulis lebih dari dalam
satu kitab.
Apabila kita meragukan riwayat Abu az
zubair dari jabir seperti kasus di atas, apakah hal ini juga berarti kita harus
meragukan 360 hadits lainnya? Berdasarkan metode autentifikasi hadits Muslim
tradisional, al Bani berpendapat bahwa apabla seorang mudallis berkata,”saya
mendengar” maka riwayatnya dianggap bersmbung. Tapi apabila ia berkata “’an”
[dari], riwayatnya ditolak atau paling tidak penilainnya ditunda sampai muncul
penjelasan bahwa ia benar-benar mendengarnya langsung dari informannya.
Pertanyaannya adalah berapa sering Abu az Zubair menggunakan kata “’an” dan
berapa kali ia menggunakan kata “sami’tu” dan kata-kata lainnya yang
menunjukkan hubunga langsung dengan Jabir? Dari 194 hadits dengan jalur Abu az
Zubair dari jabir yang tertulis dalam Sahih Muslim, Abu az zubair menggunakan
lafal “sami’tu” , dan lafal serupa yang menunjukkan periwayatan langsung
sebanyak 69 kali, dan istilah “’an” sebanyak 125 kali.
Dari 125 hadits yang menggunakan kata
“’an” yang terekam dalam Sahih Muslim, juga terekam dalamkutub as Sittah yang
lainnya seperti Sunan Tirmidzi, Abu dawud, Nasa i dan Ibnu Majah. Semua
penghimpun hadits ini merekam atau menghimpun hadits-hadits tersebut dengan
memuat isnad yang menggunakan kata “’an”. Dari 125 hadits jalur Abu az Zubair
dari Jabir yang menggunakan kata “’an” dalam sahih Muslim, 33 diantaranya juga
terekam dalam at Tirmidzi, Ibnu Majah, an Nasa i dan Abu Dawud. Semuanya
memakai kata ‘an kecuali satu hadits.
Kesimpulan apa yang dapat ditarik
dari data ini? Apa maknanya apabila hadits yang sama diriwayatkan dengan kata
sami’a di dalam satu kasus, tetapi diriwayatkan dengan kata “sami’tu” pada
kasus yang lain? Apa signifikasi fakta bahwa Muslimmenerima sepertiga riwayat
menguunakan kata “sami’tu” tetapi juga sekaligus menerima dua pertiga riwayat
menggunakan kata “’an”. Pesan apa yang disampaikan dalam pola ini menyangkut
metode yang digunakan Muslim dalam meneliti hadits? Apabila terminologi isnad
“sami’tu”, “’an” dan sebagainya bukan menjadi penentu bagi Muslim dalam kasus
Abu az Zubair, lantas atas dasar apa dia mendasarkan penilaian sahih terhadap
riwayat Abu az Zubair dari jabir? Dengan kata lain, apakah para penghimpun
hadits benar-benar berdasarkan pada bukti-bukti isnad?
Pertanyaan-pertanyaan ini memang sulit
dijawab,meski membahas secara rinci signifikasi terminologi priwayatan pada
masa awal islam. Dengan menganalisis riwayat Ibnu Juraij [150 H] dari ‘Atha’
[114 H],Motzki berkesimpulan bahwa terminologi isnad “sami’tu dan yang serupa,
atau ‘an” dan sejenisnya tidak digunakan secara konsisten pada masa mereka.
Dengan kata lain, kata-kata tertentu digunakan secara bergantian. Tampaknya
kesimpulan Motzki tentang riwayat Ibnu Juraij dari ‘Atha’ juga berlaku pada
kasus jalur Abu az zubair dari jabir. Ini berarti Abu az Zubair pun mungkin
menggunakan terminologi isnad secara ktidak konsisten.
Menurut hemat penulis,konsistensi
terminologi yang ditemukan dalam kitab-kitab hadits resmi menunjukkan bahwa
secara faktual Imam Muslim telah menerima hadits dengan periwayatan menggunakan
kata “an”, dan beberapa lainnya menggunakan kata “sami’tu”. Dengan kata lain,
Muslim dan penghimpun hadits lainnya tidak merubah atau menciptakan kata-kata
yang digunakannya. Karenanya Imam Muslim tidak diragukan telah menganggap bahwa
Abu az Zubair adalah tsiqat. Kalau demikian, maka Muslim menerima riwayat Abu
az Zubair sebagai riwayat terpercaya, tanpa membedakan apakah ia menerima
langsung dari informannya ataukah tidak. Fakta bahwa Muslim menerima riwayat
Abu az Zubairyang menggunakan “an” menunjukkan bahwa bagi Muslim terminologi
yang digunakan oleh generasi pertama tidak memainkan peranan penting dalam
menentukan ke tsiqatan seorang perawi. Kesimpulan ini menggugat metode al Bani,
karena ia menggunakan istilah istilah itu sebagai kriteria untuk menentukan dan
menilai keabsahan riwayat.
Sementara itu, al Bani tidak
memasukkan al Laits bin sa’id dari Abu az Zubair dari jabir sebagai riwayat
yang lemah,karena klaim al laits yang
menyatakan bahwa dia hanya menerima riwayat dari Abu az Zubair yang dia terima
langsung dari Jabir. Kesimpulan al Bani menyangkut jalur periwayatn Abu az
Zubair ini hanya didasarkan pada pendapat Ibnu Hazm yang berkesimpulan sama.
Sebab al Bani tidak menganalisis secara mendalam dan menyeluruh jalur
periwayatan Abu az Zubair dari Jabir.