Umar Muhammad Noor,
Woodlands Singapore, 23 July 2011
Woodlands Singapore, 23 July 2011
Artikel ini asalnya adalah sebuah bahasan di dalam
thesis saya yang berbicara tentang metoda
Imam al-Syafi’i dalam
menyingkap ‘illat hadits empat tahun lalu.Sengaja saya
letakkan di sini agar menjadi ‘amal jariyah bagi teman-teman yang berminat pada
kajian ilmu hadits dalam bentuk yang lebih mendalam.
Salah satu sumbangan
besar Imam Al-Syafii dalam ilmu hadits adalah beliau menjelaskan kepada kita
makna-makna berbagai istilah teknikal yang digunakan ahli hadits dalam kritik
riwayat. Di
antara istilah-istilah yang beliau perjelaskan itu adalah “syadz”.Sejauh
bacaan saya, setiap perbincangan tentang konsep ini dalam kitab-kitab musthalah,
selalu merujuk kepada ucapan beliau, lalu setiap ulama berusaha menafsirkannya
dengan penjelasan yang munasabah. Meski telah banyak diperbincangkan,
namun saya melihat beberapa aspek dari bahasan ini masih gelap dan memerlukan
cahaya penerangan sebagaimana yang akan saya jelaskan dalam artikel
sederhana ini.
Persoalan pertama yang
mesti diketahui adalah ucapan yang berisi konsep Syadz ini tsabit
hingga ke Imam al-Syafii melalui
dua jalur. Jalur pertama disampaikan
oleh Ibn Abi Hatim Al-Razi, dari Yunus bin 'Abd Al-A'la, dari Al-Syafi'i dengan
lafazh: “Hadits
syadz bukanlah hadits yang diriwayatkan seorang tsiqat tanpa disokong oleh orang lain.
Namun hadits syadz adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sekumpulan
orang-orang tsiqat, lalu salah seorang daripada mereka menyimpang dan
meriwayatkan sesuatu yang bertentangan dengan riwayat yang lainnya.”[1][1]
Jalur
kedua diceritakan oleh Abu Bakar Muhammad bin Ishaq (Ibn Khuzaimah), dari
Yunus, dari Al-Syafi'i yang berkata: “(Hadits) Syadz bukanlah sebuah hadits
yang hanya diriwayatkan oleh seorang tsiqat. Itu bukan
syadz.Akan tetapi syadz adalah sebuah hadits yang diriwayatkan seorang tsiqat
yang berseberangan dengan riwayat semua orang.Inilah hadits syadz.”[2][2]
Kita dapat melihat bahwa kedua riwayat ini
mengandung kesamaan dan perbedaan di dalam lafazhnya.
Kesamaannya terletak pada bagian pertama dari kedua riwayat ini: “Hadits syadz bukanlah ...”.Bagian ini
jelas mengandung bantahan atas konsep syadz yang, dalam pengamatan al-Syafii, keliru dan
perlu dibetulkan. Dan pembetulan konsep itu dilakukan pada bagian kedua ucapan
ini: “Akan tetapi, syadz adalah ...”. Terdapat sedikit perbedaan
dalam lafazh bagian kedua ini, dan perbedaan lafazh itu akan
membawa dampak besar dalam perbedaan ahli hadits dalam menafsirkan konsep syadz
Al-Syafii sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Kita mulai dengan
penjelasan bagian pertama ucapan Al-Syafii. Apabila membaca bagian ini,
terlintas satu pertanyaan di dalam pikiran
saya: “Siapakah pemilik konsep keliru tentang hadits syadz yang tengah dibantah
oleh Al-Syafii ini?”
Saya lalu mencari-cari jawapan yang tepat
untuk pertanyaan ini.Dan setelah mengkaji sejarah
hidup Al-Syafii, sambil berusaha menyelami watak dan metode
pemikirannya, saya melihat bahwa bantahan ini ditujukan kepada Imam Ya’qub bin
Ibrahim (terkenal dengan sebutan Al-Qadhi Abu Yusuf w.183H), murid terbaik Imam
Abu Hanifah di Irak.Saya tiba kepada kesimpulan ini setelah membaca kitab beliau yang bertajuk Al-Rad ‘ala Siyar Al-Awza'i.Dalambuku
ini, Imam Abu Yusuf sering kali menghukum syadz hadits-hadits tertentu dan
memperingatkan manusia daripadanya.
Misalnya, beliau
berkata, “Ambillah hadits-hadits yang dikenal secara umum, dan hati-hatilah
dari hadits-hadits syadz.”[3][3] Beliau juga berkata, “Berhati-hatilah dari hadits syadz, dan
ambillah hadits yang dipegang oleh orang banyak, dikenal oleh fuqaha dan sesuai dengan Al-Kitab dan
Sunnah.”[4][4] Di tempat lain, Abu Yusuf menjelaskan maksud beliau dengan istilah
syadz ini, “Kami tidak mendengar riwayat dari Nabi Saw dan para sahabatnya
bahwa beliau membagikan (ghanimah) untuk kuda, kecuali hanya satu hadits saja.
Satu hadits menurut kami adalah syadz, dan kami tidak menerimanya.”[5][5]
Dari perkataannya ini, jelas bahwa hadits syadz menurut Abu Yusuf adalah sebuah hadits yang hanya diriwayatkan seorang perawi, walaupun perawi itu tsiqat, tanpa disokong oleh riwayat-riwayat yang lain.[6][6] Saya tidak tahu apakah konsep ini pendapat peribadi beliau, ataukah ia merupakan konsep yang diterima luas di kalangan ulama fiqh pada masa itu. Namun yang pasti, jika konsep ini diterima maka kita mesti menolak banyak hadits-hadits yang dinilai sahih oleh muhadditsin apabila ia hanya diriwayatkan melalui satu jalur saja (gharib). Salah satunya hadits tentang larangan menghimpun seorang wanita dengan bibinya dalam satu ikatan perkahwinan.[7][7] Al-Syafi'i berkata, “Hadits ini tidak diriwayatkan dengan sanad yang sahih selain dari Abu Hurairah.”[8][8] Begitu juga hadits nisab zakat tanaman yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri.[9][9] Al-Syafi'i berkata, “Tidak diriwayatkan dari Nabi Saw dengan jalur yang sahih kecuali dari Abu Sa'id Al-Khudri.”[10][10]
Menyadari dampak negatif ini, Imam Al-Syafii merasa perlu meluruskan
konsep syadz dengan membantah konsep yang diajukan Abu Yusuf terlebih dahulu
dengan katanya “(Hadits) Syadz bukan sebuah hadits yang hanya diriwayatkan oleh
seorang tsiqat.Itu bukan syadz.”Untuk mendukung hal ini, Al-Syafi'i mengajukan
banyak hujjah dalam berbagai diskusinya dengan tokoh-tokoh Irak.Semua diskusi dan
hujah itu dapat dilihat diberbagai bagian dalam kitab Al-Umm.Setelah itu, beliau
mengajukan konsep syadz sesuai perspektif ahli hadits dengan berkata, “Akan tetapi
syadz adalah sebuah hadits yang diriwayatkan seorang tsiqat bertentangan dengan
riwayat semua orang.Inilah hadits syadz.”
Seperti yang
telah saya sebutkan di atas, terdapat dua versi riwayat dari Imam Al-Syafii
berkenaan dengan konsep syadz. Keduanya memang bermuara kepada Yunus bin Abdil
A’la, namun terdapat perbedaan lafazh
antara riwayat Ibn Abi Hatim dan riwayat Ibn Khuzaimah.
Versi Ibn Abi Hatim menggambarkan syadz sebagai penyimpangan riwayat
yang dilakukan perawi tsiqat dari riwayat perawi-perawi lain yang jumlahnya
lebih banyak.Konsep syadz ini menjadi pegangan muktamad ahli hadits
mutaakhirin.Telah menjadi pengetahuan kita bahwa definisi syadz
adalah “riwayat perawi tsiqat yang bertentangan dengan riwayat orang-orang yang
lebih tsiqat darinya.” Al-Hafiz Ibn Hajar bahkan meluaskan jangkauan syadz
sehingga mencakup riwayat perawi yang hanya berstatus “diterima (maqbul)”.
Beliau berkata, “Maka diketahui dari penjelasan di atas bahwa syadz adalah
hadits yang diriwayatkan perawi maqbul yang bertentangan dengan (riwayat) orang
yang lebih utama darinya.Ini adalah pendapat mu'tamad tentang definisi syadz
secara istilah.”[11][11]
Definisi ini merupakan konsep yang paling luas diterima banyak ulama
mutaakhirin.Al-Syafi'i sendiri sering menegaskan bahwa penyimpangan riwayat
seperti ini merupakan bukti kekeliruan.Beliau berkata, “Tanda kekeliruan
seorang perawi adalah (riwayatnya) bertentangan dengan riwayat orang yang lebih
kuat hafalannya dan lebih banyak jumlahnya.”[12][12] Al-Syafi'i menerapkan kaidah ini pada banyak sekali hadits-hadits yang
tengah dibahasnya, antara lain: hadits riwayat Sufyan bin 'Uyainah, dari Yahya
bin Sa'id Al-Ansari, dari Muhammad bin Ibrahim Al-Taimi, dari 'Isa bin
Thalhah, dari bapaknya, tentang sekelompok muhrim (orang yang
sedang ihram) yang berburu kuda liar. Al-Syafi'i berkata, “Sufyan menyalahi
(perawi-perawi lain) dalam hadits ini. Mereka berkata: 'Isa bin
Thalhah, dari 'Umair bin Salamah, dari Al-Bahzi.”[13][13] Jadi, riwayat Sufyan adalah syadz dan keliru meskipun beliau tsiqat
karena Malik bin Anas, Yazid bin Harun, Husyaim bin Basyir, Hammad bin Zaid dan
lain-lain meriwayatkan hadits ini dari Yahya bin Sa'id Al-Anshari seperti
ucapan Al-Syafi'i.[14][14]
Begitu juga hadits Sufyan dari Al-Zuhri dari 'Urwah, dari 'Abd Al-Rahman bin 'Abd Al-Qariia berkata, “Umar (bin Khathab) shalat subuh di Mekah, lalu thawaf tujuh putaran, kemudian keluar menuju Madinah. Setibanya di Dzi Thuwa dan matahari telah terbit, ia shalat dua rakaat.” Semua murid Al-Zuhri yang lain: Malik, Yunus, Ma'mar, Al-Awza'i, Ibn Abi Dzi'b meriwayatkan hadits ini dari Al-Zuhri dari Humaid bin 'Abd Al-Rahman dari 'Abd Al-Rahman bin 'Abd Al-Qari.[15][15]
Begitu juga hadits Sufyan dari Al-Zuhri dari 'Urwah, dari 'Abd Al-Rahman bin 'Abd Al-Qariia berkata, “Umar (bin Khathab) shalat subuh di Mekah, lalu thawaf tujuh putaran, kemudian keluar menuju Madinah. Setibanya di Dzi Thuwa dan matahari telah terbit, ia shalat dua rakaat.” Semua murid Al-Zuhri yang lain: Malik, Yunus, Ma'mar, Al-Awza'i, Ibn Abi Dzi'b meriwayatkan hadits ini dari Al-Zuhri dari Humaid bin 'Abd Al-Rahman dari 'Abd Al-Rahman bin 'Abd Al-Qari.[15][15]
Al-Syafi'i berkata, “Sufyan mengikuti –dengan ucapannya dari Al-Zuhri
dari 'Urwah- jalur yang biasa dilalui (jadah).”[16][16] Artinya, ia keliru akibat terbiasa menyebutkan jalur Al-Zuhri dari
'Urwah, dan kekeliruan itu terlihat pada penyimpangan riwayatnya daripada
riwayat para perawi yang lain.
Sementara itu, versi Ibn Khuzaimah menggambarkan syadz menurut Al-Syafi'i adalah sebuah hadits yang diriwayatkan seorang
tsiqat bertentangan dengan semua manusia.Apabila menafsirkan
ucapan ini, Al-Hakim berpendapat bahwa “syadz adalah sebuah hadits yang hanya
diriwayatkan oleh seorang tsiqat tanpa ada asal yang menyokong riwayat
tersebut.”
Artinya, bentuk sanad atau matan hadits itu benar-benar asing dari semua
bentuk-bentuk riwayat yang pernah dikenal ahli hadits, meskipun perawinya
tsiqat.Itu karena ahli hadits telah mengusai berbagai bentuk sanad dan
matan karena hafalan dan sistem dokumentasi mereka yang sangat teliti.Maka,
apabila sebuah hadits telah keluar dari bentuk-bentuk itu, mereka segera
merasakan adanya kekeliruan di dalam riwayat tersebut.Dan sering terjadi, ahli
hadis hanya dapat merasakan kekeliruan itu namun tidak mampu menjelaskannya
karena terlalu halus.
Menurut Al-Hakim lagi, kekeliruan yang menyebabkan hadis dihukumkan syadz lebih halus daripada kekeliruan yang disebabkan oleh ‘illat. Itu karena, syadz adalah penyimpangan dari seluruh riwayat yang ada, bukan hanya riwayat-riwayat dalam satu jalur hadits saja. Perkara ini sangat terang dijelaskan oleh Al-Baihaqi, murid Al-Hakim, apabila menafsirkan konsep Syadz Al-Syafii: “Metode penelitian hadits sahih dan dhaif ini tidak dapat diketahui dengan kepribadian perawinya saja. Namun hanya dapat dilakukan dengan banyak mendengarkan (hadits), sering bergaul dengan pakar-pakar hadits, berdiskusi dengan mereka, menelaah kitab-kitab mereka dan memperhatikan riwayat-riwayat mereka. Sehingga jika sebuah hadits telah syadz (keluar dari jalurnya), ia bisa segera mengetahuinya.
Beliau melanjutkan: “Perawi yang jujur kadang keliru apabila menulis
hadits, sehingga
bercampur sebuah hadis ke dalam hadits lain. Maka jadilah sebuah hadits lemah diriwayatkan
dengan sanad yang sahih.Pena boleh keliru, pendengaran boleh salah, dan hafalan
boleh lupa.Maka ia (perawi jujur ini) lalu meriwayatkan hadits yang syadz.”[17][17]
Bagi saya,
konsep Al-Hakim ini sejalan dengan praktik ahli hadis mutaqaddimin.Namun
begitu, konsep ini banyak ditolak oleh ahli hadits mutaakhirin sejak masa Al-Hafiz Ibn Al-Shalah.
Apabila saya perhatikan, tampaknya Ibn Al-Salah memahami konsep Al-Hakim sama
dengan konsep Abu Yusuf, yakni hadits syadz adalah riwayat perawi tsiqat yang
tidak disokong oleh riwayat lain. Oleh karena itu, beliau lalu mengajukan keberatannya dengan
menyebutkan hadits-hadits seperti itu namun tetap disepakati kesahihannya oleh
ahli hadits, seperti hadits niat dan hadits larangan jual-beli wala.[18][18]
Konsep
Al-Hakim sangat berbeda dengan konsep Abu Yusuf. Konsep Abu Yusuf
terbangun di atas sikap mazhab Hanafi yang menolak hadits-hadits gharib
meskipun disahihkan ahli hadits apabila kandungannya bertentangan dengan kias
dan prinsip dasar mazhab mereka. Adapun konsep Al-Hakim, maka ia merupakan
salah satu mekanisme kritik hadits yang sangat halus dan benar-benar
berdasarkan praktik pakar-pakar hadits mutaqaddimin. Penolakan Ibn Solah lebih
tepat ditujukan kepada konsep Abu Yusuf, bukan konsep Al-Hakim.
Dari
penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa konsep syadz dalam ucapan Imam
Al-Syafii terbuka untuk dua versi penafsiran.Meskipun versi Ibn Abi Hatim lebih
popular, namun tafsiran Al-Hakim yang didasari riwayat Ibn Khuzaimah tidak
patut dilupakan.Bahkan, penafsiran ini menunjukkan ketajaman metoda kritik ahli
hadits mutaqaddimin yang lahir dari kemahiran mereka dalam ilmu
hadits.Menariknya, kedua konsep ini terbentuk dari ucapan Al-Syafii yang
seringkali dikenali hanya sebagai ahli fiqh belaka, bukan ahli hadits.Wallahu
a’lam.
[2][2]“Ma'rifat 'Ulum
Al-Hadits” hal.119, “Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar” 1/143, “'Ulum Al-Hadits”
hal. 76.
[6][6] Ibn 'Abd Al-Bar
menceritakan definisi lain untuk menurut Abu Hanifah. Ia berkata di
“Al-Tamhid”, “Ahli hadits sering kali mencela Abu Hanifah karena banyak menolak
hadits-hadits ahad yang (riwayat perawi-perawi) terpercaya, sebab ia selalu
mengujinya dengan kumpulan hadits-hadits dan makna-makna Al-Qur'an. Hadits yang
keluar dari makna-makna itu ditolaknya dan disebut “syadz”.
[7][7] Hadits muflis: “Mana-mana
laki-laki yang muflis, lalu seseorang (yang berpiutang dengannya) menemukan
barang milikinya yang masih utuh di dalam hartanya, maka ia orang paling berhak
dengannya.”
Hadits larangan
menikah dengan bibi istri: “Tidak boleh seseorang menikahi bibi isterinya.”
[9][9] Hadits nisab zakat tanaman:
“Tidak ada zakat bagi (hasil pertanian) yang kurang daripada lima wisq.”
[14][14]Lihat “Al-Muwatha”
no.(789), “Mushannaf 'Abd Al-Razaq” no.(8339), “Musnad Ahmad” 3/452, “Sunan
Al-Nasa'i Al-Kubra” no.(3800), “Shahih Ibn Hibban” no.(5111), “Al-Sunan
Al-Kubra” 6/181.
[15][15]“Al-Muwatha”
no.(826), “Mushannaf 'Abd Al-Razaq” no.(9008), “Al-'Ilal wa Ma'rifat Al-Rijal”
3/390, “Al-Sunan Al-Kubra” 2/462 dan 5/91.