Shahih Muslim Bukan Bacaan Orang awam

,



Oleh : Omar M. Noor

Melalui artikel ini, saya bukanlah ingin menghalangi anda dari membaca Shahih Muslim. Sebaliknya, tulisan ini hanya ingin menempatkan Shahih Muslim di tempat yang semestinya.

Kitab S
hahih Muslim (Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtasar min Al-Sunan bi Naql al-’Adl ’an al-’Adl ’an Rasululillah Saw) adalah sebuah mahakarya dalam ilmu hadits yang paling unggul. Hadits-hadits yang tercantum di dalamnya berasal dari 300 ribu hadis yang telah disaring dengan teliti, lalu diperlihatkan kepada berbagai pakar hadits di masanya untuk perbandingan.Hasilnya, kitab Shahih Muslim menjadi salah satu rujukan terpenting untuk mendapatkan hadits-hadits yang shahih berasal dari Nabi Saw.

Dari Abu Hamid Ibn Al-Syarqi, Imam Muslim berkata, “Tidaklah aku mencantumkan hadits di dalam Musnad ini melainkan dengan hujjah. Dan tidaklah aku menggugurkannya melainkan dengan hujjah.”[1]

Berkata Makki bin ‘Abdan, ”Aku mendengar Imam Muslim berkata, “Aku perlihatkan kitab Musnad-ku ini kepada Abu Zur’ah.
Setiap hadits yang beliau katakan mengandungi ‘illat, maka aku tinggalkan.Dan setiap hadits yang beliau katakan shahih dan tidak ada ‘illat, maka itulah yang aku cantumkan.Andai seorang ahli hadits menulis hadits selama 200 tahun, niscaya ia hanya akan berputar di sekitar kitab Musnad ini juga.” [2]


***

Apabila membaca S
hahih Muslim, saya yakin bahwa kitab ini murni berorientasi pada hadits, bukan fiqih. Maksud saya, perhatian utama Imam Muslim dalam menyusun kitab ini lebih tertuju kepada memastikan kesahihan suatu riwayat ketimbang isthinbat hukum yang terkandung di dalamnya.Maka hanya pembaca yang menguasai logika dan perspektif ahli hadits saja yang dapat memahami isyarat-isyarat Imam Muslim dalam kitab ini dan menggali imu-ilmu yang tersembunyi di dalamnya.Adapun pembaca yang pikirannya hanya tertuju kepada isthinbat hukum, apalagi orang awam yang tidak mengkaji ilmu alat dengan sempurna, maka keduanya tidak mungkin dapat menggunakan kitab ini sebagaimana yang diinginkan oleh penulisnya sendiri.

Kitab S
hahih Muslim berbeda dengan Sahih Al-Bukhari. Jika Al-Bukhari sangat aktif memperlihatkan “ijtihad pribadinya” setiap kali meriwayatkan hadits, seperti yang terlihat dalam judul-judul babnya, Imam Muslim menulis kitabnya tanpa bab-bab berjudul. Siapa yang mengkaji kitab ini pasti yakin bahwa Imam Muslim mengelompokkan hadits-haditsnya dalam suatu kelompok tertentu, namun beliau tidak menamakan kelompok itu dengan judul tertentu.[3] Beliau hanya menyebutkan nama kitab (misal: kitab Sholat) lalu mengisinya dengan hadits-hadits dari berbagai sanad. Para ulama terkemudian, salah satunya Imam Al-Nawawi, menamakan kumpulan menjadi bab-bab yang berjudul tertentu.[4]

Susunan (tertib) hadits-hadits dalam shahih muslim dikenal memiliki nilai ilmiah yang sangat tinggi sehingga sebahagian ahli hadits menempatkan kitab ini di atas Sahih Al-Bukhari karenanya. Imam Muslim biasa membuka kumpulan hadis (atau bab) dengan hadits-hadits bermutu tinggi (dikenal dengan istilah usul), lalu mengiringinya dengan hadis-hadis lain yang memiliki kandungan yang mirip namun dengan sanad yang berbeda (mutaba’at dan syawahid).
Jaminan shahih hanya diberikan kepada hadits-hadits kategori usul, sementara mutabaat dan syawahid nilainya sangat beragam.Sebahagiannya sahih, namun tidak sedikit juga yang dhaif karena ‘illat yang terkandung di dalamnya.

Membedakan hadis-hadis usul daripada mutabaat dan syawahid sangat penting disadari oleh setiap orang yang membaca dan mengkaji kitab ini untuk tujuan isthinbat hukum. Kebanyakan, kalau tidak semua, kritikan yang ditujukan kepada sahih Muslim tertuju kepada hadits-hadits dalam kategori mutabaat dan syawahid.[5] Sementara hadits-hadits usul, kalaupun ada kritikan yang tertuju kepadanya, maka kebenaran selalu memihak kepada Imam Muslim. Kegagalan membedakaan hadits-hadits Sahih Muslim ini hanya akan membawa kekeliruan dalam menilai hadits, selanjutnya menyebabkan kesalahan dalam membangun akidah dan fiqh pegangan kita.

Dan, harus diakui, hanya para pakar hadi
ts yang dapat melakukan tugas ini dengan baik, bukan orang yang tidak pernah mengkaji ilmu hadits dengan mendalam ataupun orang awam. Imam Abu Ismail Abdullah bin Ahmad Al-Ansari (w. 481H) pernah berkata, “Kitab Al-Tirmidzi menurutku lebih bermanfaat daripada kitab al-Bukhari dan Muslim. Sebab kedua kitab ini tidak dapat dikeluarkan faedah (ilmu-ilmu) daripadanya melainkan oleh seorang ulama yang sangat pakar.Adapun kitab Al-Tirmidzi, maka semua orang boleh mengambil faedah daripadanya.”[6]



***

Anda mungkin bertanya
, Jika benar ada hadis-hadis mutabaat dan syawahid di dalam Sahih Muslim, apa sebenarnya maksud dan tujuan Imam Muslim meriwayatkan hadits-hadits ini?

Jawapan untuk
pertanyaan ini sangat beragam dan berbeda satu hadits dengan yang lain. Di bawah ini, saya akan menyebutkan sebahagian daripada motif-motif tersebut sebagaimana pengamatan saya apabila membaca hadits-hadits yang terkandung di dalam kitab ini. Saya akan menyebutkan satu contoh yang diambil dari kitab Shahih Muslim untuk menjelaskan perkara ini secara lebih praktikal.


1. Sebagai  Penguat Kandungan Hadis Usul.

Ini adalah motif utama Imam Muslim meriwayatkan hadits-hadits mutaba’at dan syawahid selepas hadits usul, yakni sebagai penyokong sekaligus bukti bahwa hadits usul yang ia riwayatkan ini tidak syadz, malah memiliki jalur yang cukup banyak.

Motif ini jelas sekali dapat kita temukan dalam berbagai tempat di Sahih Muslim. Salah satunya dalam kitab bersuci (al-Thaharah), Imam Muslim meriwayatkan hadits Ibn ‘Uyainah, dari Abu Al-zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw bersabda, “Apabila salah seorang kamu beristinja dengan batu, maka beristinjalah tiga kali. Dan jika seseorang kamu berwudhu, maka masukkanlah air di hidungnya lalu hembuskanlah.”[7]

Beliau lalu menyokong hadis ini dengan riwayat Abdurazzaq, dari Ma’mar, dari Hammam, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw, “Jika salah seorang kamu berwudhu, maka masukkanlah air ke hidungnya lalu hembuskanlah.”[8]

Selanjutnya, diikuti dengan hadits Malik, dari Ibn Syihab, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw bersabda, “Siapa yang berwudhu, maka masukkanlah air di hidungnya. Dan siapa yang beristinja dengan batu, maka ganjilkanlah.” Riwayat ini dikuatkan dengan riwayat Yunus, dari Ibn Syihab, dari Abu Idris, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw dengan lafazh yang serupa.[9]

Hadits ini lalu diikuti dengan hadits Ibn Al-Had, dari Muhammad bin Ibrahim, dari ‘Isa bin Talhah, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw bersabda, “Jika salah seorang kamu bangkit dari tidurnya, maka masukkanlah air ke hidungnya tiga kali. Sebab setan menginap di lubang hidungnya.”[10]

 Bab ini lalu ditutup dengan riwayat Abdurazzaq, dari Ibn Juraij, dari Abu Al-Zubair, dari Jabir, bersabda Nabi Saw, “Apabila salah seorang kamu beristinja dengan batu, maka ganjilkanlah.”[11]

Semua riwayat yang disebutkan ini sahih dan saling menyokong satu sama lain.
Imam Muslim menyusunnya dengan sangat teliti dan menempatkan sanad yang terkuat sebelum sanad yang lebih rendah daripadanya.

2. Menunjukkan Tambahan (ziyadah) Di Dalam Sanad.

Dalam kitab Al-Radha’ (susuan), Imam Muslim meriwayatkan dari Sufyan Al-Tsauri, dari Muhammad bin Abi Bakar, dari Abdul Malik bin Abi Bakar bin Abdurahman bin Al-Harith bin Hisyam, dari bapanya, dari Umi Salamah bahwa Nabi Saw ketika mengawininya menetap bersamanya selama tiga hari.[12] Hadits ini bersambung (muttasil) dari awal hingga ke akhirnya.

Setelah hadits ini, Imam Muslim lalu meriwayatkan dari Malik, dari Abdullah bin Abi Bakar, dari Abdul Malik bin Abi Bakar, dari Abdul Malik bin Abi Bakar, dari Abu Bakar bin Abdurahman, dari Nabi Saw.[13] Hadits ini mursal sebab ia tidak menyebutkan sahabat yang menghubungkan antara Abu Bakar bin Abdurahman dan Nabi Saw. Riwayat ini disokong oleh riwayat Sulaiman bin Bilal, dari Abdurahman bin Humaid, dari Abdul Malik bin Abu Bakar yang meriwayatkannya secara mursal seperti riwayat Malik.[14]

Ini menunjukkan adanya ikhtilaf di dalam sanad hadits ini, antara apakah ia muttashil ataukah mursal. Kenyataan Imam Muslim mendahulukan hadis Sufyan yang muttashil menunjukkan bahwa beliau memilih untuk mensahihkan hadits ini dan menerima sanad Sufyan sebagai ziyadah thiqat. Beliau lalu menyokongnya dengan riwayat Abdurahman bin Ziyad, dari Abu Bakar bin Abdurahman, dari Umi Salamah di akhir bab.[15]

3. Menunjukkan Kesalahan Perawi di Dalam Sanad.

Kebalikan daripada ini adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim di Muqaddimah Shahih-nya, dari Muadz Al-‘Anbari dan Ibn Mahdi, keduanya dari Syu’bah, dari Khubaib bin Abdirahman, dari Hafs bin ‘Asim, bahwa Nabi Saw bersabda: “Cukuplah seseorang berdusta, jika ia menceritakan semua yang ia dengar.”[16] Hadis ini mursal sebab Hafs bin ‘Asim bukan seorang sahabat, jadi tidak pernah berjumpa dengan Nabi Saw.

Imam Muslim lalu meriwayatkan setelahnya hadits dari ‘Ali bin Hafs, dari Syu’bah, dengan sanad dan matan seperti di atas, hanya saja ia berkata,dari Hafs bin ‘Asim, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw.[17] Jadi, ‘Ali bin Hafs menyebutkan di dalam sanad hadis ini nama Abu Hurairah, sementara murid-murid Syu’bah yang lain tidak menyebutkannya.

Imam Muslim mengisyaratkan bahwa tambahan ini lemah dan tertolak dengan meletakkan hadis mursal riwayat Mu’az dan Ibn Mahdi sebelum hadits ‘Ali bin Hafs. Hadits ini, dengan begitu, adalah mursal menurut Imam Muslim.[18]

4. Menunjukkan Kesalahan Perawi dalam Menyebut Nama.

Di awal kitab Al-Thalak, Imam Muslim menyebutkan berbagai hadits yang berkaitan dengan kisah Ibn Umar ra. yang menceraikan isterinya dalam keadaan haid, lalu Rasulullah Saw memerintahkannya untuk merujuk isterinya kembali.[19] Di akhir bab, beliau menyebutkan hadis Hajjaj bin Muhammad, dari Ibn Juraij, dari Abu Al-Zubair, bahwa ia mendengar Abdurahman bin Ayman Maula ‘Azzah bertanya kepada Ibn Umar: “Apa pendapatmu jika seseorang menceraikan isterinya dalam keadaan haid?” Ibn ‘Umar menjawab: ...[20]

Imam Muslim menyebutkan setelah ini sebuah riwayat dari Abdurazzaq, dari Ibn Juraij, Abu Al-Zubair memberitahuku, bahwa ia mendengar Abdurahman bin Ayman Maula ‘Urwah bertanya kepada Ibn ‘Umar...[21]

Imam Muslim berkata: “Ia keliru mengatakan: Maula ‘Urwah, sebenarnya adalah: Maula ‘Azzah.”

5. Menunjukkan Kekeliruan Perawi dalam Matan Hadis.

Di kitab Sholat Al-Musafirin wa Qasruha, Imam Muslim meriwayatkan hadits Malik bin Anas, dari Abu Al-Zubair, dari Said bin Jubair, dari Ibn ‘Abbas, “Rasulullah Saw pernah menjamak zhuhur dan ashar,, maghrib dan isyak, bukan karena takut dan safar.”[22]

Ini adalah sanad yang paling kuat bagi hadits ini karena diriwayatkan oleh tokoh-tokoh fiqh dan hadits dari Madinah. Apalagi, Imam Malik disokong oleh Zuhair bin Mu’awiyah yang meriwayatkan hadis ini dari Abu Al-Zubair dengan sanad dan lafaz yang sama.[23]

Beberapa hadi
ts setelahnya, Imam Muslim meriwayatkan dari Sulaiman Al-A’masy, dari Habib bin Abi Thabit, dari Said bin Jubair, dari Ibn Abbas dengan lafaz yang sama. Hanya saja, ia berkata di akhirnya: “bukan karena takut dan hujan.”[24]

Imam Muslim sengaja menyebutkan riwayat ini untuk menunjukkan kekeliruan yang terdapat di dalam matannya. Seharusnya adalah: “bukan karena takut dan safar” seperti riwayat Malik dan Zuhair. Perkara tersebut dijelaskan oleh tokoh-tokoh besar ahli hadi
ts dari kalangan mutaqaddimin seperti Ibn Khuzaimah, Al-Baihaqi dan Ibn Abdil Bar.[25] Pendapat ini lebih kuat dibandingkan penilaian tokoh-tokoh mutaakhirin seperti Ibn Taymiah dan Syeikh Al-Albani yang mensahihkan riwayat Habib bin Abi Thabit ini.[26] Wallahu a’lam.


6. Menjelaskan Tambahan Kata Di Dalam Hadis.

Imam Muslim meriwayatkan dari jalur Malik, dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar bahwa beliau menceraikan isterinya dalam keadaan haid di masa Nabi Saw. Umar bin Al-Khattab menceritakan perkara itu kepada Nabi Saw. Maka Baginda bersabda
, “Perintahkan ia untuk merujuknya, lalu membiarkannya hingga suci (dari haid), lalu haid lagi hingga suci. Setelah itu, jika ia berkehendak, silahkan menahannya. Atau jika ia berkehendak, silahkan menceraikannya. Itulah ‘iddah yang Allah perintahkah untuk menceraikan isteri padanya.”[27]


Setelah hadis ini, Imam Muslim membawakan riwayat Al-Laits, dari Nafi, dari Ibn ‘Umar, bahwa beliau menceraikan isterinya yang tengah haid talak satu ...”[28] Riwayat ini membawa tambahan lafazh yang tidak terdapat di dalam riwayat Malik. Dan orang yang meriwayatkan tambahan ini seseorang yang layak dipercaya, iaitu Imam Laits bin Sa’ad, maka tambahan ini boleh diterima sebagai ziyadah tsiqat.
Berkata Muslim, “Al-Laits memperelok hadis ini dengan ucapannya: talak satu.”

Berkata Al-Nawawi apabila menjelaskan ucapan ini: “Maksudnya, Al-Laith mengingat dan memastikan kadar talak yang tidak diingat oleh orang lain. Beliau tidak mengabaikannya seperti orang lain mengabaikannya. Beliau tidak ikut keliru seperti orang-orang lain yang mengatakan bahwa talak tersebut adalah talak tiga.Berbagai riwayat Muslim saling menguatkan bahwa talak itu adalah satu.”[29]


***

Apa yang saya sebutkan di atas hanyalah sebagian daripada maksud dan tujuan Imam Muslim meriwayatkan hadits-hadits mutaba’at dan syawahid di dalam kitab Shahihnya sesuai dengan pengamatan saya. Ianya ini masih dapat ditambah lagi apabila pembaca kitab ini meneliti setiap riwayat yang beliau sebutkan dengan persepektif ahli hadits.
Bahasan ini, menurut saya, penting untuk dijadikan objek kajian dan penelitian para penuntut ilmu hadits sebagai satu sumbangan ilmiah untuk mempelopori kajian kritis karya-karya ahli hadits mutaqaddimin.

Sejauh ini, saya melihat orang-orang yang mengkaji kitab-kitab hadis seperti Sahih Muslim dan lain-lain hanya terbagi menjadi dua kelompok saja. Kelompok pertama: orang-orang yang membacanya dari awal hingga akhir tanpa kajian mendalam dan hanya untuk sanad dan ijazah belaka. Kelompok kedua: orang-orang yang menc
oba mengkaji kitab-kitab ini dengan kritis namun menggunakan perspektif fuqaha yang hanya tertuju kepada kandungan matan hadits tanpa memiliki kepakaran dalam kajian sanad. Pada saat ini, saya melihat sudah tiba masanya untuk melahirkan kelompok ketiga yang mengkaji hadis dengan perspektif ahli hadis yang mementingkan kajian sanad dan istinbat matan bersama-sama.Wallahu a'lam.


Wasallallahu 'ala sayyidina muhammadin wa ála alihi wa sahbihi wa sallam. Walhamdulillahi rabbil 'alamin.



Umar Muhammad Noor,
Woodlands, Singapore, 6 March 2011